Membaca Sherlock Holmes

Sebuah kajian struktur intrinsik Novel Berseri ‘Sherlock Holmes’ karya Arthur Conan Doyle.

Donny Setiawan
2 min readSep 17, 2023
Sherlock Holmes (kanan) dan Dr. Watson (kiri)

Pendahuluan

Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar nama ‘Sherlock Holmes’?

Misteri. Kejahatan. Inggris. Detektif. Dan segala hal yang identik, seperti pakaian khasnya, topi, cerutu, dan kaca pembesar.

Apa hal yang membuat orang tertarik untuk membaca novel karya Conan Doyle tersebut?

Semata-mata hanya melihat atau mendengar nama ‘Sherlock Holmes’, sudah muncul kesan yang begitu melekat. Nama yang melegenda itu, yang hingga sampai saat ini masih sering dibicarakan dan bahkan terus dibuat TV Serialnya di Inggris (negeri asalnya).

Cerita detektif tersebut sebetulnya cukup menarik, apalagi membahas seputar segi penyajian melalui sudut pandang sastranya, sebab sangat mencirikhaskan karya sastra pada zaman itu. (Sekitar kurang lebih 2 abad silam atau pada abad 19 menuju abad 20-an.)

Mengapa karya Sir Arthur Conan Doyle sangat menarik untuk diulas di masa kini?

Entah mengapa, karya-karya sastra yang lahir di awal abad 20-an itu lebih memiliki identitasnya sendiri.

Sebut saja, seperti karya Agatha Christie, Harper Lee, George Orwell, J.R.R Tolkien, maupun Conan Doyle.

Struktur kisah Sherlock Holmes sebetulnya cukup sederhana kalau dalam penyajiannya.

Struktur Cerita dalam Sherlock Holmes

Karya tulis yang bertemakan detektif itu jelas identik dengan misteri.

Dalam cerita detektif artinya dalam proses penyuguhannya melibatkan perjalanan atau proses terjadinya penguakan misteri melalui bukti-bukti yang nyata dan meyakinkan.

Namun, bagi saya, mudah bagi Sir Arthur Conan Doyle untuk meyakinkan pembaca dengan mengupas suatu misteri melalui fakta baru yang kemudian meyakini kepada pembaca sebagai hal yang nyata. Sehingga terkesan lahirlah bukti yang menjawab sebuah misteri yang sebelumnya tertutup itu.

Conan Doyle membuat seluruh kejadian beserta para tokoh dan bukti-buktinya (yang telah dijadikan fakta) melalui peristiwa.

Dan, menariknya, saya berasumsi bahwa Sir Arthur Conan Doyle adalah penulis yang hidup di tengah akan sarat kekentalan masyarakat Patriarkis eropa pada abad 19 ke 20-an itu.

Sehingga dalam penyajian proses penguakan faktanya (menurut penulis) dalam cerita detektif Sherlock Holmes, terdapat beberapa cara.

  1. Mengandalkan bukti yang berkaitan dengan fakta yang konkret (bersifat empiris — nyata/berwujud)
  2. dan, ada yang berasalkan fakta melalui peristiwa natural (alamiah).

Peristiwa natural itu seperti apa? Misal saja, peristiwa yang terjadi tanpa perlu mengaitkan bukti-bukti sebelumnya, seperti hubungan dua manusia pada umumnya — ada kaitannya dengan asmara, ada juga relasi sosial.

Peristiwa asmara biasanya ada kaitannya dengan perceraian, cinta sejati, masalah rumah tangga, dan sebagainya.

Sedangkan peritiwa relasi sosial, pada umumnya, hubungan individu dengan individu lain secara privat, seperti dendam, rasa belas kasih, dan sebagainya.

Konklusi

Karya sastra yang lahir dari 19 sampai awal abad 20-an sangat menarik untuk diulas di masa kini. Apalagi di era itu banyak novel-novel klasik lahir.

Bukan hanya karena gaya kepenulisan dan ketenaran namanya. Namun, karena pada masa itu banyak penulis-penulis yang hidup di zaman konflik dunia. Mungkin itu yang membedakan antara karya sastra masa kini.***

--

--

Donny Setiawan
Donny Setiawan

Written by Donny Setiawan

Penggemar Bahasa, Sastra, dan Seni.

No responses yet