Perkenalan dengan Orang-Orang di Kotabuku [1]

Donny Setiawan
5 min readJun 2, 2024

#Sinopsis: Di Kotabuku semua orang mencintai buku; tak heran juga banyak yang berambisi menjadi penulis (novelis). Tom Kecil, seorang anak remaja yang pemalu, juga bercita-cita menjadi penulis, lebih tepatnya penulis terkenal. Disaat bersamaan, ia harus menghadapi kenyataan bahwa semakin banyak buku terbengkalai karena kalah dengan buku baru; buku-buku itu tergeletak di jalan-jalan, menyumbat saluran, bahkan menjadi bahan bangunan pengganti bata. Ditambah lagi, seorang penulis maniak paling terkenal (I.J.J) melakukan berbagai cara kotor untuk mengubur nama penulis-penulis baru, agar namanya tak tenggelam. Dapatkah Tom Kecil mewujudkan cita-citanya menjadi penulis terkenal di tengah semua orang menjadi penulis? atau akankah, setidaknya, bukunya itu dibaca?

BAB 1

SEMUA BERMULA ketika Tom Kecil dan induk semangnya saling melekat pandang di tengah perbincangan. Sebuah ketidaksetujuan terlontar menepis sebuah angan dan harapan Tom Kecil. Katanya:

“Apa kau bercanda?”

“Tidak, saya serius,” Tom Kecil duduk tegak sejajar dengan mata Tuan Induk Semangnya.

“Menjadi penulis di kota ini?”

“Betul, Tuan. Saya tidak bercanda. Saya serius. Percayalah,” Tuan Induk Semangnya nampak menimbang-nimbang. Kepalanya mengangguk-angguk, kilatan matanya makin melekat dengan mata Tom Kecil. Ketika sudah menemukan kata yang ingin disampaikan ia mengedipkan matanya sekali dan di situlah tampang seriusnya muncul di wajahnya.

“Demi Tuhan, Nak, tidak mungkin kau akan menjadi penulis, apalagi di kota ini! Demi Tuhan!” dia mengambil gelas yang telah diisi kopi dan hendak pergi.

“Tuan bahkan seorang penulis. Nyonya juga. Teman-teman di sekolahku juga,” Tom Kecil mencondongkan tubuhnya, kemudian menopangkan sikunya pada meja. “Kenapa aku tidak bisa menjadi penulis?”

“Ya, itu dulu! Sekarang tidak!” pria itu terhenti di ambang pintu, dan menudingkan jari telunjuknya ke udara, dengan membelakangi Tom Kecil, “Semua orang sibuk menulis, lagi pula siapa yang mau membaca?” pria itu membalik dan mematung. “Sekali lagi, Nak, aku beritahu. Semua orang sibuk dengan mimpi mereka menjadi penulis! Tidak sudi aku membuang-buang waktu untuk menjadi penulis yang karyanya tidak dibaca,” ia sempat tersedak ketika menyeruput kopinya. “Hidupku lebih baik sekarang, walaupun pekerjaan ini sering disamakan dengan kata ‘penjilat’. Dan istriku pun lebih baik hidupnya ketika menjadi seorang pengajar di sekolah swasta. Itu lebih mulia dan hasilnya terlihat. Hiduplah dengan realistis, Nak.”

Tom Kecil berpikir bahwa Tuan Induk Semangnya itu hanya mencoba mematahkan semangatnya saja. Mungkin saja beda cerita jika pria itu dan istrinya berhasil menulis 10.000 kata per hari selama sebulan pada Bulan Raya Kotabuku yang diadakan tahun lalu, mereka mungkin tidak akan membanting setir begini. Wajar saja bagi orang-orang Kotabuku ketika perayaan bulan raya berlomba-lomba untuk menulis kata sebanyak yang mereka bisa dalam sehari. Rata-rata orang-orang Kotabuku bisa menulis 10.000 kata dalam sehari, namun untuk orang-orang seumuran Tom Kecil biasanya hanya bisa menulis sekitar lima ribu kata saja. Itu pun sudah bagus menurut survei yang diadakan pemerintah setiap helatan perayaan Bulan Raya setahun sekali itu. Mungkin untuk orang-orang dewasa yang hidup di Kotabuku apabila hanya bisa menulis kurang dari 10.000 kata pastilah membuat mereka merasa terkucilkan. Tapi, negara dengan pasti memfasilitasi penulis-penulis yang tertinggal dengan ucapan semangat yang disebarkan lewat rumah-rumah mereka dengan mengirim buku-buku berisi kata-kata motivasi dan karangan-karangan terbaik sepanjang masa, yang biasanya, milik penulis paling terkenal di kota ini: atau biasa dikenal dengan inisial I.J.J.

Tuan Induk Semang dan istrinya merasa tersinggung ketika suatu pagi buku-buku itu tergeletak di depan halaman rumah. Mereka menjadi menutup diri dan mengubah sikap mereka kepada tetangga-tetangganya yang bisa menulis 10.000 kata sehari. Karena frustrasi, pria itu membuang mesin tik-nya secara diam-diam dan membakarnya di belakang rumah dan memutuskan untuk tidak akan menulis lagi. SEUMUR HIDUPNYA!

Oh, bagaimana dengan Tom Kecil? Ia baru saja memutuskan untuk menjadi penulis! Diantara 10.100 dari 10.200 penduduk kota yang ingin menjadi penulis. Ya! memang sehabis lulus dari dunia pendidikan seharusnya kita menentukan ke mana arah selanjutnya dan Tom Kecil memilih untuk menjadi penulis.

Selepas makan siang, Tom Kecil berniat keluar kamarnya dan berpamitan kepada induk semangnya. Sebelum berpamitan, istri dari Tuan Induk Semang ada di ambang pintu depan sambil membaca buku.

“Sudahkah kamu baca buku terbaru I.J.J?” kepalanya menunduk, matanya tetap pada tiap kalimat dalam buku. Tangan kirinya mengempit sigaret yang diangkat sampai sebahu.

“Belum.”

“Kenapa?” alis nyonya itu menurun, matanya menyipit dan ia mendekat selangkah menghampiri Tom Kecil.

“Saya sibuk menulis.”

“Oh,” ia melompat memandang Tom Kecil. Seketika ia menutup bukunya, “Bahaya ini. Jangan-jangan menjadi penulis membuatmu jadi lupa membaca?”

“Memang benar saya belum sempat membaca buku,” Tom Kecil menaruh kedua telapak tangannya di bahu wanita itu, “dan semoga nanti tulisan saya ini bisa sedikitnya meringankan uang sewa selama sebulan.”

“Apakah semuanya sudah sesuai dengan strukturnya?” matanya melotot penuh rasa khawatir. Dalam pikiran wanita itu, apakah yang telah Tom Kecil perbuat terhadap tulisannya itu sudah sesuai dengan apa yang ia percayai dan sesuai dengan kaidah penulisan atau justru malah sebaliknya. Ia penasaran. Wanita itu kemudian menjauh dan menghalangi jalan yang ada di depan Tom Kecil. Tom Kecil tak bisa berbuat sesuatu, entah menyuruhnya menyingkir atau pergi tak mengacuhkannya, karena ia teringat kebaikan hati wanita itu yang telah memotong setengah uang sewa; serta baru-baru ini, wanita itu pula yang membelikan mesin tik untuknya. Meskipun semakin membuat matanya tak sehat karena sehabis mengetik mata Tom Kecil kerap memerah dan terasa perih, mungkin karena layar mesin tik yang cukup kecil. Apapun kebaikan atau keanehannya, wanita itu selalu ingin tahu tulisan yang ditulis Tom Kecil. “Perhatikan diksinya. Majas apa saja yang kau pakai? Ah, mungkin untuk orang yang awam seperti kita ini lebih baik cukup menggunakan teknik tiga babak saja. Itu mudah saja! Bagian satu pengenalan, bagian dua konflik, dan bagian akhir penyelesaian.”

“Ya, saya kira sudah cukup gunakan tiga babak saja.”

Wajah Nyonya Induk Semang tampak jenuh dan sedih kalau dilihat dari dekat. Kerutan di kelopak matanya makin tertampak jelas dan sorotan mata itu yang membuat Tom Kecil kadang merasa iba. Wanita itu mengambil ponsel di saku celananya dan terpaku beberapa menit di layar gawainya. Ia tetap menyuruh Tom Kecil untuk tidak pergi kemana-mana.

“Nah, kan, benar. I.J.J. baru saja menerbitkan buku terbarunya. Ini, lihat unggahan terbaru di media sosialnya,” ponsel pintarnya yang berwarna biru cerah itu disodorkan.

“Saya tidak sempat membuka media sosial.”

“Astaga. Ada apa denganmu?” Tom Kecil semakin merasa tidak nyaman karena bau tembakau dari mulut perempuan itu.

“Saya bosan. Pasti yang saya lihat, I.J.J lagi, I.J.J lagi. Baru kemarin saya sempat lihat unggahan terbarunya tentang kutipan-kutipan bukunya. Ah, menurut saya itu norak sekali.”

“Aku setuju,” wanita itu menaruh ponselnya kembali ke dalam saku celananya, “Ah, entah kenapa, belakang ini menurutku menulis itu menjenuhkan sekali,” ia mengatakan itu dengan hati-hati. Apalagi bagian ‘menulis’. Ia menyodorkan mulutnya dekat telinga Tom Kecil ketika mengatakan kata itu sambil mengawasi jendela atas. Wanita itu sudah hafal, siang sehabis makan pasti suaminya biasa merebahkan tubuhnya dan berbaring untuk waktu yang lama di kamarnya; itu tepat di atas pintu depan. Sampai akhirnya terdengar suara dengkuran yang merusak keheningan di rumah itu, ia meneruskan, “tapi, seharusnya kau jangan sampai mengasingkan diri begitu. Manusia mana yang tidak menggunakan media sosial di dunia ini? Penulis-penulis di kota ini memanfaatkan metamesta itu untuk memasarkan tulisan mereka. Kau jangan sampai tertinggal. Apa gunanya jika pemerintah sudah susah-payah membangun laman web yang dijadikan lokapasar untuk membantu para penulis menjual karya mereka? Hanya kau, Tom Kecil, anak aneh yang pemalu dan tertutup!”

Sebelum berpamit, sungguh benar berpamit, Tom Kecil teringat mengenai papan tombolnya yang rusak. Sehingga itu mengakibatkan ia cukup lama mengutak-atik papan tombolnya daripada menulis. Nyonya Induk Semangnya berjanji akan segera membelikannya yang baru asal Tom Kecil mau tetap menulis.[akhir bab 1]

--

--

Donny Setiawan

Penggemar Bahasa, Sastra, dan Seni. | Language and Art enthusiast.