Misteri Hantu di Rumah Kosong

Aksi sang mantan inspektur.

Donny Setiawan
11 min readAug 13, 2024
“The Haunted House” oleh Simeon Solomon via Wikiart.org

Tuan Tanah itu berperawakan tegas dan berkumis serta tertutup, baik secara penampilan maupun sikapnya. Bicaranya juga sedikit. Seperlunya saja. Jika ditanya, dia hanya menjawab sebatas sekitar hal-hal yang dipertanyakan.

“Telah Anda periksa semua keadaan rumah itu, Tuan?” tanya pria di hadapannya, sambil duduk.

Sementara Tuan Tanah itu berdiri, agak sedikit tak sabaran, berharap segera pria itu dapat menyelesaikan kegusarannya.

“Sudah, Tuan,” suaranya terdengar sangat meyakinkan. “Lantai dasar sampai lantai atas. Juga loteng-lotengnya pun tak pernah meninggalkan bercak jamur, bahkan atapnya baru diganti dengan genting yang baru.”

“Baiklah, Tuan, kalau Anda rasa bahwa itu bukan salah pada rumah itu sendiri,” sosok pria yang duduk itu menyilakan Tuan Tanah untuk duduk. Namun Tuan Tanah itu tak segera duduk.

“Saya berkeyakinan, bahwa rumah itu berhantu, Tuan,” suaranya terdengar bergetar. “Lagi pula, saya sudah lupa, apakah rumah itu sudah didoakan ketika baru dibangun pertama kali atau tidak. Dan yang saya tahu, saya hanya membeli rumah itu ketika sudah jadi.”

Pria yang duduk itu tetap menunggu dan mendengar dengan raut wajah seperti mengantuk.

“Mungkinkah rumah itu berhantu?” kata Tuan Tanah lagi. “Tapi sepengetahuan saya, selama masih tinggal di sana tidak pernah terjadi kejadian adanya penampakan-penampakan atau yang berhubungan dengan hal-hal gaib, Tuan,” pria yang duduk itu menganggukan kepala setuju. “Namun, saya yakin rumah itu kini berhantu.”

“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Anda meninggalkan rumah itu kosong tak berpenghuni?” tanya pria yang duduk itu.

Tuan Tanah mencoba mengingat-ingat. “Kira-kira semenjak kantor kerja saya pindah ke Surabaya,” suaranya agak jernih. “Saya lebih banyak bekerja di Surabaya ketimbang di daerah Batavia, Tuan.” Matanya berseri dan pipinya menjadi memerah. “Kemudian di sana saya bertemu dengan istri saya sekarang ini. Sudah hampir selama 6 tahun saya tak mengurusi rumah itu lagi,”

Pria yang duduk itu tampak tertarik dengan kisah hidup sangat singkat Tuan di hadapannya.

“Anda tadi mengatakan bahwa Anda bekerja untuk firma J&J Co. sebagai supervisor.” Tuan Tanah itu mengiakan. “Setahu saya, firma itu adalah perusahaan swasta asli Belanda yang banyak menjual kopi-kopi ke eropa, betul?”

“Betul, Tuan,” balas Tuan Tanah. “Saya sendiri yang memantau langsung pengiriman itu dari pelabuhan, baik tadinya di Batavia — sebelum saya dipindahkan ke Surabaya.”

“Anda tidak punya masalah terhadap anak-anak buah Anda, betul?”

Tuan Tanah itu menelan ludah, terkejut.

“J — jelas tidak, Tuan,” katanya. “Saya ini merupakan pekerja yang sangat bertanggung jawab atas pekerjaan saya. Pun saya juga mau itu dirasakan oleh bawahan-bawahan saya.”

“Untuk memperjelas itu, anak buah Anda semua berdarah pribumi, atau?”

“Em — Pribumi, lebih banyak, Tuan,”

Pria yang duduk itu memelintir ujung kumisnya sambil berdiam memandang kosong meja di depannya.

“Baiklah!” ucapnya memotong keheningan “Akan saya urusi masalah Anda pada pukul 10 pagi nanti,” wajah Tuan Tanah itu tambah cerah lagi. “Saya akan menjawab kegusaran hati Anda, Tuan.”

“Oh, terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih banyak,” ia menjabat tangan pria yang duduk itu dengan genggaman kuat.

“Sebelum berpisah,” kata pria yang duduk itu lagi. “Anda yakin akan langsung segera kembali ke Surabaya?” Tuan Tanah mengiakan. “Tak bisakah Anda barang bersantai sejenak. Minum kopi atau teh. Membakar tembakau — ini tembakau asli Hindia Belanda. Saya sangat menyukainya saat baru pertama tiba di negeri ini.

“Bersediakah, Tuan?”

“Oh, maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar terburu-buru mengejar kereta terakhir tahun ini.”

Tuan Tanah kembali mengambil tas dan topinya serta memberi hormat kepada pria yang tetap duduk itu. Pintu itu menutup dan pria yang duduk itu bangkit lalu melihat ke arah luar jendela. Tampak lautan luas dan kapal-kapal yang selalu sibuk mengangkut rempah-rempah untuk dijual di eropa.

Setelah lewat sarapan pagi, pria yang selalu duduk itu — sekarang sebut saja Tuan Zitten — berangkat menuju lokasi tempat rumah yang dimaksud Tuan Tanah tadi pagi. Tak jauh jaraknya dari rumah praktiknya.

Rumah itu besar, bercat kelabu, dan di halaman luasnya tumbuh pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitarnya. Juga gentingnya yang warna keoranyean tampak mencolok. Jika dilihat dari penampilan rumah ini cukup menarik dan jika Tuan Zitten ditawari untuk membeli rumah ini pun ia tak segan menyepakati.

Namun, pertanyaannya, kenapa banyak pembeli rumah ini yang secara tiba-tiba membatalkan kesepakatan?

Tiba-tiba mulut Tuan Zitten terasa kering. Ia segera mencari warung sekitar yang dekat dengan rumah itu. Setelah didapati warung terdekat, tempat itu penuh pengunjung. Banyak kalangan pribumi yang habis berjualan dan bekerja dari laut. Banyak juga muda-mudi peranakan yang sengaja membeli minuman di sini karena tempatnya yang dekat dari jalan besar.

Tuan Zitten memesan beberapa minuman yang dihabiskannya cukup lama di dalam warung itu. Suara muda-mudi peranakan itu memenuhi seisi ruangan sehingga banyak juga merasa terganggu, termasuk para pribumi.

Suara tawa mereka kadang memekik ruangan yang riuh. Tuan Zitten mulai tertarik kepada muda-mudi itu ketika pembicaraan mereka mengenai:

“Lihatlah wajah-wajah mereka,” sesosok peranakan itu menuding pribumi di depannya yang sedang diam, “Mirip monyet, bukan?” mereka tertawa lagi, kini lebih keras. Sampai-sampai pemilik warung menegur mereka berkali-kali.

Tuan Zitten mengerti perkataan mereka karena ia sendiri seorang Belanda tulen.

Muda-mudi itu memerhatikan Tuan Zitten, yang berlagak seperti seorang pendatang yang masih mabuk laut.

“Bisa saya bantu, Tuan?” tanya salah satu muda-mudi itu.

“Oh,” Tuan Zitten bergerak dengan ragu-ragu. “Saya tidak mengerti bahasa melayu. Saya baru turun kapal tadi pagi,”

“Saya bisa bantu, Tuan,” kata anak muda, tinggi, kulitnya putih seperti Belanda tulen, namun berambut dan bermata hitam itu. “Anda mau mencari penginapan?”

“Ah, penginapan!” kata Tuan Zitten. “Apa rumah itu kosong? Di sana tertambat papan bertuliskan: dijual.

“Saya tertarik sekali dengan rumah itu,”

Muda-mudi itu saling pandang. “Em, Tuan, Anda lebih baik menjauhi rumah itu,” katanya. “Banyak Tuan-Tuan lain yang menjadi korbannya.”

“Korban apa maksudmu?”

“Anda mesti diberitahu terlebih dahulu sebelum mendekati halaman rumah tua dan menyeramkan itu.”

Tuan Zitten terbatuk dan menyeka mulutnya dengan sapu tangannya. “Maaf, saya tidak terbiasa dengan udara lembab di sini.”

Muda-mudi itu mulai bersikap sopan. Mereka tak lagi tertawa-tawa keras. Tampaknya mereka tertarik kepada pendatang baru itu.

“Sini, Tuan, mari duduk dan kami ceritakan sebabnya,”

“Saya penasaran, Nak,” Tuan Zitten duduk.

Muda-mudi itu masih saling tatap-menatap meski itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tuan Zitten tetap menjaga tingkahnya.

“Belum lama, sekitar seminggu yang lalu. Rumah itu menampakan sesuatu,”

“Bukan sosok manusia maksudnya, Tuan,” timpal lainnya.

“Wajahnya hancur serta banyak darah berlumuran di tubuh,”

Tuan Zitten menggeleng tak mempercayai omongan itu.

“Jelas, Tuan, tak akan dengan cepat mempercayai kisah ini karena Anda baru sampai tadi pagi,” anak muda itu menarik salah satu pribumi di dekatnya dan ditanyalah ia mengenai sosok hantu itu.

“Benar, Tuan. Rumah itu dihuni hantu-hantu. Apalagi ketika malam jumat kliwon,”

Tuan Zitten menunjukan sikapnya ketika anak muda itu menerjemahkannya dalam bahasa Belanda.

“Ah, yang benar saja,” balas Tuan Zitten.

“Anda masih tak percaya? Sini saya pertemukan dengan Tuan-Tuan yang dulunya pernah berniat membeli rumah itu, namun tak jadi karena hantu-hantu di sana menakuti mereka,”

Hanya seorang peranakan yang membawa Tuan Zitten menemui orang-orang yang dimaksudkan itu. Kebetulan mereka juga berada di warung yang sama.

“Benar, Tuan. Saya sendiri yang melihatnya langsung,” kata salah satu seorang Belanda tulen, yang berbicara dengan penuh keyakinan. “Wajahnya tak utuh, banyak darah juga.”

“Hantu-hantu di daerah sini memang masih suka berkeliaran, Tuan.” timpal kerabatnya sesama berdarah tulen.

“Tuan sebaiknya menjauhi rumah itu — selamanya.”

Dari sana, Tuan Zitten memutuskan untuk langsung pulang ke rumah praktiknya, yang berada di Jalan Oranje Boulevard, №21. Dan segera mengirim telegram kepada kliennya.

Esok malamnya, pintu kantornya diketuk dengan ketukan gugup. Ternyata kliennya yang masih menunjukan wajah kalut karena kelelahan.

“Maafkan saya, harus merepotkan Anda,” ucap Tuan Zitten.

“Tak apa-apa, Tuan. Kalau masih urusan dengan masalah rumah itu, saya bersedia membatalkan keberangkatan jadwal kereta saya,” pria yang berperawakan tegas itu menyeka wajahnya yang dibasahi keringat. “Anda mengirim saya sebuah telegram bukan?”

“Benar sekali, Tuan. Dan isinya kira-kira meminta Anda untuk segera menemui saya ke kantor saya di Jalan Oranje Boulevard, №21 pada jam sembilan malam, hari Jumat,”

“Tepat hari ini, saya penuhi perintah Anda, Tuan,” wajahnya dengan kumis dan sedikit ada jenggot di rahangnya terlihat semakin tegas ketika ia berdiri tepat di bawah sorot lampu. “Tapi saya sangsi bahwa tindakan ini pasti akan menghasilkan sesuatu.”

“Ikuti saja perintah saya, Tuan, jika hati Anda ingin dibuat tenang,” kata Tuan Zitten. “Masalah ini tidak lain hanya masalah baru dengan jenis yang lama.”

“Anda begitu yakin, Tuan. Saya kagum dengan Anda dan apa yang Anda kerjakan,” balas Tuan Tanah itu. “Tapi, tidak bisakah saya beri sedikit sela, sebelum kita berangkat?”

Tuan Zitten tampak terkejut. “Dan apakah itu?”

Pria di hadapannya itu mengeluarkan sebungkus kertas lusuh yang sudah basah dalam waktu yang lama.

“Saya menerima ini tepat setelah saya menerima telegram Anda, Tuan,” kata Tuan Tanah. “Sebetulnya, saya sudah gerah ingin berangkat ke sini, setelah saya menerima telegram itu. Namun, entah kata hati saya yang lain berkata lain.”

“Tindakan Anda tepat, Tuan.” balas Tuan Zitten. “Mengikuti kata hati jauh lebih penting, terlebih untuk pria macam seperti kita. Terkadang suara hati dapat menyelamatkan nyawa seorang juga. Saya pernah menghadapi masalah itu.

“Mungkin Anda telah diselamatkan dari kematian,”

Tubuh Tuan Tanah itu menggigil. “Jelas sekali bahwa isi dari surat itu adalah nada ancaman!” katanya. “Astaga. Orang gila mana yang berani-beraninya mengancam nyawa saya dengan sebuah surat, Tuan?” pria itu mencengkram tangannya kuat-kuat. “Tolonglah saya, Tuan, saya sudah tak punya banyak waktu lagi untuk mengurusi ketidakjelasan masalah ini.”

Tuan Zitten masih duduk dengan tenang sambil memerhatikan tiap gerak-gerik kliennya. “Saya mohon Anda untuk bersikap tenanglah, Tuan,” katanya. “Kalau Anda hanya mengandalkan kekuatan fisik, jelas Anda akan kalah. Kita tak tahu seperti apa sosok orang dibalik ancaman itu. Bisa jadi mereka suatu kelompok.”

Tuan Tanah itu menyadari sesuatu. Dan ia mulai melepas genggaman kerasnya dan menjadi lebih memerhatikan pria yang duduk di depannya.

“Bisa kita langsung pergi?”

“Baiklah.”

Dalam perjalanan menaiki taksi otomobil, Tuan Zitten mengatakan bahwa semalam sebelumnya ia telah diam-diam masuk ke halaman rumah itu. Kemudian kejadian kemarin di warung menariknya sehingga ia juga ingin kliennya merasakannya sendiri.

Pukul setengah sepuluh, mereka sampai. Tuan Zitten meminta kliennya untuk berdiri tepat di bawah lampu jalan yang berada di seberang jalan halaman rumah itu. Awalnya Tuan Tanah itu membela diri namun karena pria itu tahu bahwa Tuan Zitten tengah membantunya, ia mengalah.

Tuan Zitten masuk ke halaman melewati jalan yang kemarin ia tempuh. Situasi jalan-jalan di rumah itu begitu sunyi. Tak ada satu orang pun yang lewat.

Tiba-tiba terlihat sekelebat putih-putih di jendela. Sekali. Dua kali. Sampai keempat kali. Tuan Zitten memerhatikan kliennya di kejauhan. Pria itu masih berdiri sana, namun entah ia melihat kilatan putih-putih itu atau tidak. Baru kemudian ketika sosok putih-putih itu berdiam lama di jendela, terdengar suara teriakan ketakutan di jalan. Kliennya meninggalkan tempatnya dan pergi menghilang meninggalkan Tuan Zitten sendirian.

Besok paginya, Tuan Zitten meminta kliennya untuk datang lagi, menemuinya di kantornya. Pria itu semakin kusut dibuatnya.

“Hantu. Benar-benar hantu kemarin,” katanya. “Wajah hantu itu–ya, ampun. Maafkan saya, Tuan, karena meninggalkan Anda sendirian di sana. Saya tak sanggup lagi. Baru pertama kali saya melihat hantu.”

Tuan Zitten menawarinya minum, namun sekali lagi pria itu menolak.

“Tuan,” kata pria yang duduk itu tenang. “Anda kedatangan peminat baru untuk rumah Anda, Tuan,”

Kliennya tak bereaksi apapun. Kemudian, pintu kantor itu terbuka dan seorang wanita, dengan wajah halus dan sikap lembutnya meminta jabat tangan Tuan Tanah itu. Keduanya membicarakan kesepakatan akan pemindahan hak milik rumah tersebut.

Dengan wajah cerah, kliennya itu bertanya kepada Tuan Zitten. “Bagaimana bisa, Tuan?”

“Sederhana saja, Tuan,” kata Tuan Zitten. “Pukul 10 lebih lima belas menit, saya sampai di daerah sekitar rumah yang Anda jual itu. Saya menyempatkan membeli minum di warung satu-satunya di pinggir jalan besar di sana. Banyak informasi yang akhirnya bisa saya dapat dari sana.

“Kemudian ada muda-mudi yang dengan senang hati memberi saya informasi penting dan krusial dari masalah ini. Dikatakan bahwa rumah Anda kerap menampakan hantu ketika malam hari, apalagi di malam jumat.”

“Saya tahu rumah itu berhantu. Dan terkejutnya saya adalah hantu-hantu di sini sangat mudah mewujudkan bentuknya di depan mata orang-orang,” kata Tuan Tanah. “Lalu, apa hubungannya masalah ini dengan hantu-hantu itu, Tuan? Mereka akan tetap ada di sana, dan hanya Tuhanlah yang dapat membawa kembali mereka ke pangkuan-Nya.”

“Oh, justu dari situlah masalahnya dimulai,” balas Tuan Zitten. “Hantu itu sekarang sudah berada di tangan yang benar.”

“Apa? Bagaimana bisa?”

“Tunggu, dengarkanlah saya selesai menceritakan kisah menakjubkan ini dulu, Tuan,” Tuan Tanah itu akhirnya mau duduk dan mendengar dengan tertarik.

“Selepas saya mendapatkan informasi yang menjadi ‘inti’ semua masalah ini, Tuan. Saya kembali ke sini, dan meminta bawahan saya untuk mengirim telegram yang isinya lebih kurang begini: Besok, pukul 9 malam. Kantor saya. Kita berangkat ke rumah Anda. Betul, Tuan?”

“Sebenarnya, saya ingin segera datang pada hari itu, Tuan. Namun bisa saya tahan.” balas Tuan Tanah.

Tuan Zitten melanjutkan ceritanya. “Malam harinya, selepas saya mengirim Anda telegram, saya sendiri pergi ke rumah itu. Rumah Anda begitu besar halamannya. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di halaman. Jalanan sepi dan jarang ada lampu mendukung suasana menyeramkan di sana. Satu-satunya lampu adalah lampu jalan sewaktu kemarin saya minta Anda berdiri di sana.

“Kemudian saya lewati bagian belakang halaman rumah itu, saya dapati jalan kecil melewati celah pagar tinggi pembatas antara halaman dengan hutan belakang. Di sekitar itu sunyi, Tuan. Hanya ada suara bisik-bisik orang dari balik pintu belakang rumah Anda.”

“Apa!?” spontan Tuan Tanah terkejut. “Ada penyusup di rumah itu?”

“Sebentar dulu, Tuan. Biar saya selesaikan cerita saya dulu,” kata Tuan Zitten tenang. “Saya tertarik untuk terus mengikuti suara itu. Besok harinya, tepatnya kemarin, saya berniat pindah ke arah samping rumah itu dan sengaja membuat Anda sebagai pancingan ‘hantu’ itu.

“Saya melewati jalan yang sama seperti kemarin ketika masuk ke halaman. Dan benar masih terdengar suara anak muda dengan pria yang usianya kira-kira 60 tahun ke atas.

“Mereka memperdebatkan sesuatu. Pada akhirnya, kali ini, wajah sesosok anak muda terlihat di jendela sebentar. Kemudian menghilang lagi. Terdengar suara langkah kaki menuju hutan dan menghilang. Namun, di sini bagian paling serunya, Tuan.”

“Ah, Anda membuat saya penasaran,” kata Tuan Tanah.

“Muncul wajah menyeramkan itu di balik jendela samping. Kemudian menghilang, dan muncul lagi di lantai atas.”

“Hebatnya adalah Anda sama sekali tidak gemetar melihat hantu menyeramkan itu, Tuan.” timpal Tuan Tanah.

“Jelaslah tidak,” kata Tuan Zitten dengan nada penuh percaya diri. “Nyatanya saat itu sang hantu sedang kelaparan. Dan — ,” Tuan Zitten tertawa. “Dan bodohnya dia adalah ketika meninggalkan wajah menyeramkan itu di terselip jendela.”

Tuan Tanah masih mendengarkan.

“Dengan tanda itu, saya tahu bahwa anak muda itu sedang memakan bekal bawaannya di balik topengnya dan tak kemana-mana. Akhirnya, saya dapat maju dan masuk ke dalam rumah itu lewat pintu belakang. Saya itu mudah mengingat, Tuan. Saya tahu rute jalan mana saja hantu itu bakal lewat.

“Suatu ketika, anak muda itu selesai menghabiskan bekalnya, dan ia baru sadar telah lupa mengunci pintu belakang — jalan yang saya lewati itu — dengan berlari terburu-buru menuju lorong, penghubung antara tangga menuju lantai atas dan lantai dasar dengan pintu belakang.

“Saya sudah menempatkan diri saya di pinggir lorong itu. Untunglah di rumah Anda terdapat wajan pemasak yang cukup besar. Jadi saya gunakan benda itu untuk memukul wajah ‘hantu’ itu sampai ia jatuh tersungkur ke belakang. Dan pingsan.”

Tuan Tanah itu terbisu dengan mulut yang hampir terbuka.

“Jelas kejadian ini luput dari kesadaran pemikiran Anda. Sebab, semenjak kecil kita selalu dicekoki oleh kisah-kisah mitos dan roh-roh halus.

“Jelas keberadaan hantu benar adanya. Namun, tidak sejelas ‘hantu’ yang dimaksudkan di rumah Anda itu. Saya sebetulnya sudah menyimpulkan jawaban masalah ini ketika mendengar laporan Anda saat kedatangan awal, Tuan.

“Meski begitu, masalah ini tak hanya sebatas ‘hantu’ saja. Kita masih belum menemukan siapa sosok pria yang menyuruh anak muda itu untuk menjadi ‘hantu’ di rumah Anda.

“Dan, Anda tahu. Bahwa anak muda yang saya maksud dari tadi adalah anak muda yang sama saat saya di warung seberang jalan. Dalam pengakuan bocah itu, ia dipaksa oleh majikannya untuk menjauhi pembeli rumah Anda. Dan katanya, buronan yang sedang kita lacak itu punya masalah pribadi dengan Anda, Tuan.”

Tuan Tanah itu tak bisa berkata-kata.

“Dan jelaslah, bahwa keberhasilan seseorang pada jabatan tertentu akan meninggalkan setitik bercak pada orang-orang yang culas.

“Tapi, untunglah masalahnya telah usai. Pembeli baru sudah sepenuhnya sepakat dan siang nanti Anda sendiri akan pulang ke Surabaya dengan tenang.”[*]

--

--

Donny Setiawan

Penggemar Bahasa, Sastra, dan Seni. | Language and Art enthusiast.