Kisah Petualangan Menakjubkan dari Negeri Asing
Sebuah kumpulan fiksi kilat sepanjang 2023 — 2024.
SANG PENYIHIR
Seorang penyihir mencoba menghilangkan seseorang hanya melalui ponsel pintar; namun tiba-tiba muncul makhluk air raksasa menghujam seluruh penonton. Ponsel pintar itu tak jadi menyala.
[*]
CELANA PENDEK
“Jangan pakai celana pendek itu!” Jairo melempar sehelai terpal yang biasa dipakai layang-layang. “Kau membuat badai seluruh kota,” ketika Jeremy dengan lagaknya tidak mengacuhkan temannya itu. Jairo terpental entah ke mana, kota rata dengan tanah. Jeremy dengan gaya sok necisnya berjalan menjauh dengan celana pendeknya.
[*]
HEWAN REPTIL
“Pernah dengar reptil raksasa yang mirip monster di televisi?” tanya Jaya kepada temannya, Pavitha.
Pavitha terus bercerita mengenai sosok pria yang ia sedang taksir. Dalam ruangan, di kamar Jaya, banyak poster-poster bergambar pemain bisbol terkenal. Ia tinggal di rumah neneknya.
Nijara, kakak angkat Jaya, baru saja pulang dari sebuah pulau terpencil. Beberapa minggu ia menginap di sana. Wanita itu mengatakan akan memelihara sebuah hewan di rumah. Nama hewan peliharaannya itu Ansika.
“Waw. Lihat, bentuknya mirip reptil raksasa yang ada di televisi!”, ketika Jaya melihat hewan yang dibawa kakaknya itu.
“Ya, namun ini masih seukuran bayinya,” ucap kakak angkatnya. Pavitha masih terpaku pada ponsel pintarnya menunggu pesan masuk pria yang ia suka.
[*]
AIR HUJAN
Ini adalah kisah Ira bersama temannya bernama Arta. Sudah hampir satu dekade mereka berteman dari SMP. Arta banyak bicara mengenai orang yang dia suka kepada Ira. Begitupun sebaliknya.
Ira semenjak sekolah memang selalu bersungguh-sungguh mendapat peringkat pertama di kelas. Namun sayangnya Ira juga orang yang sulit diberitahu, apalagi ucapan dari Arta.
Ira beruntung memiliki teman yang bijaksana karena apapun masalah yang diceritakan kepada Arta, selalu membuahkan jawaban baginya. Temannya ini diam-diam juga orang yang tak mau menyerah, walau kerap gagal mendapat pasangan.
Suatu ketika cuaca lebih sering hujan daripada panas. Mungkin ini bertanda sudah masuk musim penghujan. Arta mendapat kabar bahwa Ira saat ini sedang sakit — sakit dalam. Dokter sendiri yang memberitahu kepada Arta saat menjenguknya. Kepalanya juga benjol tambahnya. Ketika ditanya alasannya mengapa, sang Dokter menjawab karena terpeleset karena air hujan.
[*]
WANITA 1
Tangannya memegang ujung rambutnya, matanya menyipit serta bahunya menyentuh dinding kaca. Ah, cantiknya.
[*]
WANITA 2
Sore hari setelah berlatih, Prabaswara senang mengamati pohon tempat teguhannya. Siang panas ini sangat mencekam. Ia bisa mencium dengan kuat aroma roti dibakar dari seberang jalan.
Tapi, ya, bagaimana ia bisa makan roti itu sementara ia belum merayakan kesuksesan tim untuk besok. Hari ini tidak ada tatapan menggoda milik Jailshila. Seorang wanita yang rajin membaca buku di bawah teduhan pohon tempat Prasbawara meneduh dari terik menyengat matahari.
Ia senang memberi perhatian kepada wanita itu, tapi sayang kadang tindakan murah hatinya tak diterima seperti yang dibayangkan. Wanita itu memang agak membangkang dan sulit ditebak. Mungkin suatu hari nanti ia bisa mengajaknya menunggangi burung elang yang selalu ditungganginya ke mana-mana.
[*]
DOA
Ini kisah sepasang kekasih mengenai seorang pria bernama Biantara dan Jayati. Hari pertama bertemu, Jayati menilai Biantara adalah orang yang agak sombong. Pernah perasaannya dihiraukan oleh pria itu. Sementara Biantara mengaggap dirinya adalah orang yang paling bisa diandalkan.
Urusan pekerjaan tak pernah ia lalaikan, bahkan waktu-waktu paling sibuk tak dianggapnya masalah. Biantara memang sejak SMP sudah bisa menghasilkan uang dari kerja kerasnya ikut bekerja ke mana-mana.
Ketika sudah bersuami-istri, Jayati dan Biantara dikaruniai anak berkelamin laki-laki. Hidungnya merah saat baru dilahirkan. Anaknya itu juga memiliki warna kulit yang mirip dengan ibunya, sawo matang.
Memang Biantara merasa beruntung memiliki Jayati yang merupakan setia. Sangat sulit menemukan pasangan untuk sesibuk Biantara. Biantara berharap anaknya kelak tidak seperti ibunya yang mempunyai sikap yang labil.
[*]
ALIEN
Ini pertama kali Jayani bertemu dengan Arjuna. Di sebuah tempat pemancingan, saat sedang sibuk mencari penyegaran diri.
Arjuna sangat sopan ketika awal bertemu. Berdagu lebar, ucapannya juga bertutur sopan.
Jayani anak kepala desa, pamannya seorang anak buah kapal yang pulang dua bulan sekali.
Kadang mampir ke rumah hanya menceritakan kisah-kisah yang menakjubkan Jayani. Ia tak percaya alien, Jayani juga.
Meski tubuh Jayani kurus, ia sangat suka makan. Sebelum berpamitan dengan Arjuna, Jayani membereskan tikar dan beberapa perlengkapan lainnya. Meski ia berambisi menjadi seorang pemancing handal yang harus mengalahkan pemancing lainnya, Jayani juga turut merasakan sikap ambis kenalan barunya itu. Kemudian setelah menukar nomor mereka bercerita tentang alien.
[*]
“Ayah sebentar lagi pulang,” balas obrolan daring dari ayahnya. Jay nampak kecewa dengan balasan itu, yang setiap tahun tak pernah berubah. Pikir Jay, apakah ia harus menjadi astronot dahulu kalau ingin mengubur perasaan sakitnya terdalam di mars sana itu. Untungnya, Jay dikaruniai sosok ibu yang memiliki hati yang lembut dan manis. Beda cerita jika Jay memiliki kedua orang tua yang mirip. Mungkin ia sudah masuk ke ruang UGD karena habis remuk tulangnya.
[*]
ROBOT
Jero mengambil garpu dari tempatnya. Banyak kelelawar menempel di atap rumah itu. Rendy berniat membantu Jero, dengan membakar kain yang dimodelkan untuk mengusir kelelawar, ia berhasil menyapu bersih para kelelawar itu keluar rumah. Jero memainkan garpu dan menganggap dirinya seperti robot — tangan, tubuh, kakinya bergerak seperti robot.
[*]
ADERA DAN LINA
ADERA sejak tadi tidak bisa berhenti memikirkan Lina. Dua tahun ia mengaguminya dan esok adalah hari terakhir mereka bertemu di sekolah sebelum libur panjang musim panas menuju ujian kelulusan. Adera sampai saat ini belum mengungkapkan perasaannya kepada Lina. Adera bimbang mengenai perasaan Lina terhadapnya. Malu rasanya jika ternyata Lina tidak memiliki perasaan yang sama.
Tapi, entah saat itu, ia masih kepikiran ketika sore hari sehabis pulang sekolah, Lina menghampiri Adera mengajaknya pergi bersama. Adera terkejut namun tetap mempertahankan sikap dinginnya kepada Lina.
“Saya ada jadwal buat tugas, Lin,” kata Adera kaku.
Lina tampak kecewa, namun ia tidak berhenti dan terus memaksa Adera untuk berkata ‘iya’.
“Oke, Lin. Jam 7 saya jemput di halte depan sekolah.”
Lina yang senang mendengar jawaban itu segera pergi dan meninggalkan senyum termanis yang pernah dilihat Adera. Setelah mengucapkan “Sampai jumpa lagi,” pikiran Adera terbang kemana-mana.
“Ah, indahnya jatuh cinta,” dalam hatinya berkata. Wajahnya saat itu memerah, dan teman-teman konyolnya yang baru datang menampar kupu-kupu yang sedang terbang di tubuhnya.
“Jam 7 latihan di tempat biasa, ya, Der! Awas jangan alasan lagi,” Juno dan Alif berniat bersama-sama mengajak Adera untuk kumpul di kantin selepas pulang sekolah. Ada perasaan ragu di dalam hati Adera, antara menemui Lina atau ikut latihan basket bersama teman-temannya. Melihat Adera yang tiba-tiba diam seperti patung, Juno dan Alif meninggalkan Adera begitu saja, dan menganggap bahwa Adera seperti sosok mayat yang kemudian dihidupkan kembali.
Setelah sampai di kamarnya, Adera banyak melamun. Ia tengah duduk di atas kasur dengan masih menggunakan pakaian sekolahnya. Tasnya ia lemparkan saja di lantai, dan di sebelahnya berserakan buku-buku serta kertas-kertas harian miliknya.
“Antara basket dan Lina, yang mana semestinya aku pilih? Lina adalah sosok perempuan yang telah lama aku sukai, tapi untuk basket adalah cita-citaku sejak kecil. Memang belakang ini aku sering bolos latihan karena banyaknya jadwal dan mengerjakan tugas sekolah, tak mungkin aku mengecewakan mereka lagi,” lamunan itu berkata.
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Sementara Adera harus bersiap-siap untuk mandi, mengganti pakaiannya, dan berkumpul untuk makan malam. Ibunya sudah menyiapkan hidangan di atas meja makan yang sangat menggugah Adera. Kemudian makan malam itu berlangsung dengan hikmat, walaupun masih tanpa dihadiri ayahnya yang sibuk bekerja.
“Bagaimana sekolah?” tanya ibunya setelah mereka habis makan hidangan penutup.
“Baik,” jawab Adera tanpa ekspresi. Ibunya mengiyakan jawaban anaknya dan sibuk merapikan piring-piring di atas meja.
“Ayo, bantu ibumu membawa piring-piring ini ke dapur,” perintah ibunya. Tanpa berkata dan membantah, Adera membantu ibunya membawakan piring-piring itu ke dapur. Memang karena sudah kebiasaannya sejak kecil diajarkan untuk langsung mencuci piring setelah makan. Tangannya memang benar menggosok-gosok piring itu dengan spon yang dilumuri sabun, namun kepalanya sedang berada entah dimana.
Selang beberapa waktu, ia tak sengaja menjatuhkan salah satu piring itu, dan akibat kesalahan yang ia lakukan, ia akhirnya dihukum.
“Kau tak boleh keluar rumah!” titah ibunya.
Adera mencoba memberi ribuan alasan untuk tidak dihukum, ditambah banyak hal yang ingin ia lakukan nanti di jam malam, seperti latihan bersama temannya atau menjemput Lina di depan halte. Walaupun begitu, ibunya tak peduli, dan Adera akhirnya tidak dapat keluar rumah sampai pukul 9 malam.
Ia mencoba memberi kabar kepada Lina bahwa ia tak dapat menjemputnya, dan sekali lagi ia mengecewakan teman-temannya. Tidak ada balasan sampai pukul 10. Ia membanting ponselnya ke atas kasur dan hanya bisa merengek. Ia meringkuk sampai pukul 11 malam dan tak berani melihat ponselnya karena takut pesannya masih belum terbalas.
Esok harinya di sekolah, ia tak bertemu dengan Lina, maupun teman-temannya. Rupanya Juno dan Alif lebih memilih untuk tidak masuk sekolah di hari terakhir. Adera menyalahkan dirinya dan menjadi pendiam seharian di sekolah. Seharian itu ia tak banyak berbicara pada siapapun.
Ketika sampai di rumah, ia tak menyangka, ayahnya yang selama hampir satu tahun penuh jarang di rumah rupanya mengatakan telah mengambil cuti dari kantornya. Dengan wajah yang memancarkan keceriaan, Adera memeluk ayahnya dengan erat dan kembali merengek di pundak ayahnya. Ayahnya tersentuh kemudian berkata, “Sudah, nak, ayah akan berada di rumah lebih lama dari biasanya.”
Adera tetap memeluk ayahnya sementara makan siang sudah menunggu di meja makan. Terdengar Ibunya memanggil dari dalam dan mereka berdua ke meja makan. Makan siang ini terasa sempurna karena kursi-kursi terisi penuh. Kehadiran ayahnya, kedua kakaknya yang baru libur dari kampusnya, dan ibunya yang selalu menjaganya.
Mereka makan siang dengan penuh suka-cita. Andre, kakak tertuanya lebih banyak bercerita tentang kegiatan-kegiatan selama kuliahnya, dan Randy, kakak keduanya lebih banyak bercerita tentang kekonyolan yang ia lakukan di asramanya, sementara ayahnya lebih banyak bercerita tentang betapa ia merindukan rumah yang kemudian disambut dengan perlakuan hangat ibunya. Adera cukup menjadi penonton di meja makan yang berlangsung meriah itu.
Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku celana. “Satu pesan baru dari Lina”. Matanya berbinar dan pipinya memerah.
Isi pesan itu tertulis: “Maaf, Der. Kemarin malam saya tidak sempat memberi kabar, bahwa semalam ayah saya mendadak mengajak libur ke luar kota, dan ponsel saya tertinggal di rumah teman sewaktu saya mampir ke rumahnya. Jika kau marah dengan saya, mohon balaslah atau katakan apapun.”
[*]
GASAN DAN RAHMI
SAAT INI tak ada keinginan yang lebih besar lagi bagi Gasan selain Rahmi. Wanita pujaan hatinya. Tidak pernah ada wanita lain. Kini, saat kepergian Rahmi yang telah mencapai sembilan bulan dan hampir satu tahun lamanya, entah kemana kabarnya, dia harus kehilangan harapan untuk memiliki hatinya. Mungkin dialah harapan satu-satunya. Harapan terakhir yang harus kandas.
Berminggu-minggu Gasan tidak bisa mengusir pikiran itu dari kepalanya. Rahmi telah memilih. Ketika dia memilih, dia telah memilih untuk pergi! Gasan mencoba untuk menghilangkan rasa penat di dalam pikiran itu dengan tertidur. Kilat Menyambar. Gelegarnya lebih keras lagi daripada yang ada di pikirannya. Gasan tersentak dari tidurnya. Dia memekik ketakutan dan merengek seperti anak kecil.
Ketika Rahmi menghilang, Gasan merasa terpukul atas tindakan orang yang dicintainya itu. Ia kesulitan dalam mengungkapkan kesedihannya. Bahkan, seharian ia tidak melakukan apa-apa sekedar memikirkan kepergian sosok pujaannya. Mungkin ini bukan pertama kali. Ia mengingat kejadian serupa itu pernah menimpa dirinya. Haruskah ia terus-terusan ditinggalkan orang yang terkasih?
Gasan adalah orang yang cukup gigih semasa ia berkuliah. Selepas kuliah ia bercita-cita menjadi penulis. Namun, baginya menjadi penulis tidak semudah mengirim berkas lalu masuk kantor. Menjadi penulis artinya bekerja sepanjang hayat karena pekerjaannya adalah sekedar menulis, merupakan kemampuan dasar berbahasa manusia. Maksudnya tidak ada batasan dalam pekerjaannya. Selepas kuliah ia sempat menulis beberapa artikel untuk media massa, namun hasil dari pekerjaan itu tidak cukup dan terlalu kecil. Maka ia putuskan untuk mencari pekerjaan lain dan cukup lumayan lama tidak mendapat pekerjaan yang cocok. Ia kerap berpindah-pindah dari satu profesi ke profesi lain. Namun sebaiknya, dengan begitu ia jadi sering bertemu berbagai macam manusia. Kesukaannya terhadap olahraga mempertemukan dirinya dengan orang yang juga sama-sama suka olahraga, tapi hal ini merupakan hal baru bagi Gasan. Karena olahraga baru itu adalah bergulat. Dengan mengatur waktu, Gasan tetap mengatur waktu untuk menulis dan latihan terhadap olahraga barunya.
Gasan memiliki bibir tebal, berbicaranya kadang terbata-bata dan bernada pelan. Walau begitu, alisnya yang tebal memperlihatkan wataknya yang keras dan bersungguh-sungguh. Dan, Rahmi seorang wanita yang berkepala kecil. Alisnya yang gundul yang selalu dipoles oleh pensil alis yang melengkapi wajah manisnya. Bibir tebalnya selalu bertutur baik.
Walaupun sedih, Gasan masih butuh waktu untuk menerima kepergian Rahmi. Selama itu, Gasan masih dapat menutupi perasaannya. Wajahnya yang berubah menjadi tampak begitu pucat, selalu tak ada kegembiraan.
“Sudah kukatakan. Berhenti memedulikan orang yang tidak memedulikan balik dirimu.” Ucap temannya.
“Jangan diambil hati.” Ucap yang lain mencoba menghiburnya.
“Semua manusia mempunyai kesempatan untuk bertindak sesuai kehendak mereka.”
Ketika berhari-hari mengalami gejolak di hatinya, ia pada akhirnya sadar dan belajar. Seharusnya ia tidak boleh mengurung perasaannya untuk selamanya di sini. Suatu hari dia harus kembali ke tengah-tengah masyarakat. Dan kalau bertemu kembali dengan Rahmi, semoga Gasan sudah cukup dewasa menerimanya.
[*]
BINTANG
SEBELUM menikah dengan suaminya. Bintang lahir dari keluarga kaya. Saat ini, ia seorang Dosen paruh waktu. Namun karena sulitnya mendapat izin dari suaminya, waktu lebihnya sering ia habiskan di dalam rumah. Meski begitu, ia tetap setia kepada suaminya dan selalu berbuat apapun demi menjaga hubungannya dengan tetap baik. Ia hanya memiliki seorang anak gadis. Tapi sayang, anaknya kini telah hidup mandiri dan jarang ke rumah.
Bagi Bintang, sudah menjadi kewajiban Bahi, suaminya, untuk menjaga keutuhan anggota keluarga termasuk dari hal-hal yang membahayakan. Siang dan malam suaminya banting-tulang menafkahi dirinya. Entah mengapa suaminya tetap tidak suka jika dirinya kukuh menjadi dosen di salah satu kampus tersebut. Kampus itu jaraknya cukup jauh walau memiliki reputasi yang cemerlang. Memang uang dari mengajar juga sebetulnya dapat menambah kekurangan dari pendapatan suaminya. Namun, Bahi kukuh harus menjadi tulang punggung keluarganya. Ia masih ingat betul waktu mantan istrinya meninggal karena kecerobohan dirinya.
Tak terasa sudah tiga bulan Bintang menjalani perawatan untuk kesembuhan kankernya. Setahun lebih muda dari sekarang rambutnya pernah terurai lurus ke bawah. Namun, apabila sekarang ia hendak keluar rumah, ia lebih nyaman mengenakan topi katun untuk menutupi rambutnya yang mulai botak. Tapi pikirnya kemudian, untuk apa ia merasa malu. Toh, hidungnya yang kecil itu menambah penampilannya menjadi lebih manis.
Bintang ingat betul suaminya memiliki hidung yang tajam jika ia bertindak diluar kehendaknya. Kepala suaminya yang besar dengan mudah menyuruh anak buahnya untuk mengawasi dirinya selama berada di luar rumah.
“Perintah Pak Kumis, Bu.” Begitu kata anak buahnya yang selalu setia patuh selama dua puluh empat jam untuk suaminya.
Suatu ketika dalam gelap malam yang masih membungkam rumah keluarganya, belum ada tanda-tanda ayam jantan berkokok saling bersahutan. Seisi rumah menjadi tambah bisu ketika suaminya dan anak buahnya yang setia terdengar meninggalkan halaman rumah di depan. Biasa, urusan pekerjaan. Kini hanya dirinya yang terbaring di ranjang dan suara jangkrik serta mungkin belalang memanjang yang memekik.
Ibunya benar. Malam itu untuk pertama kalinya Bintang menyadari, betapa tidak menghiraukan apa-apa terhadap keputusan sendiri kecuali untuk selalu berusaha menjaga hubungan dan patuh pada suaminya. Suaminya memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dan Bintang terlalu banyak membiarkan keputusannya ditempatkan kepada orang lain.
Bintang memaksakan dirinya untuk bangkit dari tempat tidurnya. Ia tertunduk dalam duduknya. Baginya, segalanya jelas sekarang. Sambil menatap wajah suaminya dalam foto di depannya yang terlihat tetap tidak berubah. Wajah tanpa salah!
Tiba-tiba pintu terbuka dan suaminya masuk terburu-buru.
“Kenapa kau lakukan itu? Memangnya masih kurang apa yang kuberi?”
“Ya,” tanya polos Bintang. “Aku sudah ambil keputusan, Mas!”
“Bego! Dasar makhluk tidak kasih untung!”
Terlambat mencegah suaminya mengucapkan kata-kata itu. Wajah Bintang mengerut kesakitan seolah-olah ada belati yang menghujam di jantungnya. Dia menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya dengan perlahan. Tanpa memedulikan lagi jerit tangis suaminya.
[*]
BALASAN PESAN
KAU menunggu balasan dari seseorang. Terkadang pesan-pesan balasan dibalas agak lama dan kadang direspon dengan cepat. Kau lelah melihat-lihat pantulan dirimu di depan cermin. Entah mengapa kau sempat berpikir ‘selalu kurang di mata perempuan’. Itulah sebabnya kau ingin berpenampilan terbaik ketika ada kesempatan untuk keluar dari rumah. Walau hanya sekedar mengunjungi perpustakaan. Akhirnya kau menyerah, melempar seluruh pakaian yang akan kau kenakan di atas lantai begitu saja. Kau duduk di tepian tempat tidurmu. Kau melamun. Kepalamu hampir sumpek dipenuhi pikiran sendiri.
Dalam keputusasaan, kau memilih baju kemeja biru gelap, agak melorot tapi itulah yang menambah nilai kemejamu, pikirmu. Tidak lupa kau tambahkan aksen supaya agak terbuka dua kancing di bagian kerah. Kemudian, kalung menambah kekosongannya.
“Ya, begitu.” katamu sambil tersenyum. “Biarkan perempuan-perempuan itu melihat tubuhmu yang cukup kekar ini.” Inilah pakaian terbaikmu. Di bawah, sepatu sneakers hitam putih, dan disusul celana jeans berwarna gelap.
Hakim adalah anak muda yang baru berusia 23 tahun. Pria kecil dengan dagu serta hidung yang kecil pula itu merupakan pria yang lincah. Ia akan menjadi seorang penulis suatu kelak. Bersekolah di sekolah tinggi kepenulisan rupanya tidak membuat Hakim menyukai dunia baca. Katanya, ia tak mau terpengaruh dengan bahan bacaan. Ia mau menjadi orisinil. Asli dari bentuk pemikirannya sendiri dan imajinasinya. Sambil belajar, ia juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai penulis konten di situs daring. Sudah seperti pekerjaannya yang dimulai dari hari Senin sampai Jumat, kadang hari Sabtu disibukan pula. Terkadang tak ada hari libur untuk mengirim konten karena baginya menulis adalah sudah bagian dari dirinya.
Di dalam lift, setelah lelah menunggu lift sambil berdiri, Hakim menemukan sosok yang menarik. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap berada di dalam lift itu, rupanya begitupun perempuan itu. Sampai akhirnya kalian saling menukar nomor dan menunda untuk pulang ke rumah masing-masing.
Perempuan itu bernama Fitri. Ia merupakan sosok yang tekun. Bekerja sebagai Data Analyst dengan gaji yang sekedar cukup untuk kebutuhan sehari-hari dari sebuah perusahaan swasta. Pekerjaan itu cukup menyibukkan dirinya sehingga membuatnya tak pernah memiliki hidup untuk sekedar berleha-leha. Fitri terbiasa menunda makan sepanjang hari karena itu terlihat dari tubuhnya yang kecil. Bekerja di depan meja komputer membuatnya untuk terus melawan rasa bosan yang melanda terlihat dari bentuk dagunya yang berlipat. Hidung tajamnya dengan mudah menangkap sifat palsu manusia. Sebulan sekali ia mengunjungi perpustakaan di dekat daerah rumahnya. Kebetulan perpustakaan ini memang terletak sangat strategis. Orang-orang dari mana saja bisa mengunjunginya, entah itu menggunakan bus kota, kereta, atau kendaraan pribadi.
Mereka sempat berdebat mengenai kebiasaan wanita dalam merajut, entah itu untuk sapu tangan atau pakaian. Fitri rupanya merupakan seorang wanita yang kurang tertarik dengan kebiasaan kuno itu. Justru ia adalah sosok wanita modern yang mempunyai pemikiran maju. Sikapnya yang suka mengamati sekitar menambah nilai. Fakta lainnya, walaupun nama lengkapnya berawalan dengan nama Juli–Juliana Adini Fitri–bukan berarti ia lahir di bulan Juli. Tidak. Ia lahir di bulan November.
Kami sempat mengunjungi sebuah warung kopi. Sesosok pria bertubuh kurus kering dengan lekuk tulang wajah yang memperlihat jelas dagu panjangnya menyambut kami. Rupanya ia seorang Barista di sana. Hidung peseknya sempat tercecer bubuk kopi, namun dengan segera ia hapus cepat sebelum kami menegurnya.
“Saya mau pulang.” Kata perempuan di depannya.
“Sebentar lagi, ya.” Harap Hakim.
“Tidak bisa, masih ada urusan kerja yang belum selesai.”
“Nanti dulu, Fit,” kata Hakim berat. “Biar saya antar.”
“Tidak perlu. Saya bisa pulang sendiri.”
Kemudian, selepas Hakim pulang dan sampai di rumahnya, ia mengirimi pesan kepada Fitri. Terkadang respon pesan-pesan balasan dikirim agak lama dan kadang direspon dengan cepat. Dan, ia menunggu balasan-balasan lagi.
[*]
CHANDRAMAYA
SETIAP KALI ia mendapat cuti dari tempat bekerjanya, ia selalu menggunakan waktu itu untuk pergi konsultasi ke psikiater. Tapi, beberapa temannya menyarankan untuk pergi menemui konselor terlebih dahulu yang berada di Denpasar. Ibad adalah seorang Debt Collector yang berperawakan bersahaja. Namun begitu, bekas luka bakar yang mengakibatkan alisnya gundul itu menandakan bahwa ia telah banyak mengalami hal-hal yang tak mengenakan. Sementara kulitnya yang putih membuat kelihatan bibirnya pucat.
Sudah berkali-kali kejadian tak mengenakan dialaminya. Mungkin karena pekerjaannya sebagai Debt Collector. Kadang ia habis dipukuli oleh sekelompok orang tak dikenal. Kadang hidupnya dibuat tak tenang dengan teror yang dialami keluarganya. Namun, apa boleh buat. Hanya melalui pekerjaan ini ia dapat menghidupi keluarga kecilnya.
Siang hari yang panjang ia lewati dengan menunggu kendaraan umum yang siap mengangkutnya. Entah mengapa belakangan ini angkutan umum sering penuh. Jadi ia menunggu hampir selama 30 menitan. Setelah naik angkutan umum yang cukup kosong, ia akhirnya dapat duduk. Lokasi tak jauh dari tempat ia menyetop angkutan umum itu. Langit mendung, perasaan di hatinya mulai merambat jiwanya lagi. Setelah sekitar 30 menit kemudian, ia sampai di lokasi. Tempat yang disarankan oleh teman-temannya. Memang tak mudah menghadapi permasalahan kejiwaan tanpa bantuan orang lain.
Di ruang tunggu, ia berpapasan dengan anak gadis yang asik duduk di sampingya. Seisi ruangan hanya mereka berdua dan beberapa resepsionis yang mengisi mejanya.
“Mohon ditunggu, Pak.” Ucap resepsionis ketika melihat Ibad sampai di depan mejanya untuk mengajukan pertanyaan. Akhirnya ia mengalah dan kembali menarik kursi di sebelah gadis yang masih asyik duduk itu. Hening merasuki telinganya. Ibad mengulurkan tangannya.
“Saya Ibad.” Gadis itu balas mengulurkan tangannya.
“Nidya.”
“Pukul berapa konselor itu akan tiba?” tanyanya.
“Kurang lebih 5 menit lagi, Pak.” Selepas mereka berdua menunggu selama hampir 15 menitan, baru nama mereka dipanggil menghadap sekaligus.
Konselor itu seorang wanita cukup umur. Ia sepertinya telah hampir memakan setengah hidupnya untuk membantu banyak orang yang membutuhkan bantuannya. Mungkin karena pekerjaannya sebagai Konselor mengakibatkan kulitnya cepat mengendur dan keriput. Mungkin saja sebetulnya seumuran dengannya.
“Silakan,” wanita itu menunjuk dua kursi yang telah disediakan menghadap meja kerjanya. “Bapak Ibad, saya sempat mendapat pesan dari beberapa klien saya kalau bapak membutuhkan bantuan saya.”
“Oh, ya, betul, Bu,” jawab Ibad malu-malu.
“Saya akan menulis rujukan ke beberapa tempat terapis yang tepat untuk bapak. Supaya hidup bapak tenang dan aman.”
“Oh, baik, Bu. Terima kasih!” Ibad sumringah.
Bagi Ibad, terkadang dari suara yang keluar dari bibir wanita itu yang tebal terdengar datar seolah tak menghiraukan keluhan kliennya. Seperti main-main. Toh, semua keluhan klien selalu sama, mungkin begitu yang ada di pikirannya. Nama Chandaramaya yang terpampang di atas meja menarik perhatian Ibad.
“Silakan, berikutnya.” Perintah wanita itu.
“Terima kasih, Bu Chandramaya.” Ucap Ibad sambil menarik mundur kursinya.
“Panggil saya Maya saja,” potong wanita itu. “Ada apa? Boleh langsung ceritakan keluhannya.” Kepada gadis di sebelah Ibad.
Gadis yang duduk di samping Ibad memperkenalkan namanya. Gadis itu mengatakan bahwa sejak kecil ia telah bercita-cita menjadi pembalap. Namun, karena kecelakaan berat yang menimpanya beberapa minggu yang lalu membuatnya kesulitan untuk mengambil keputusan. Dia sebenarnya anak yang menyenangkan. Bibir yang dibalut lipstik berwarna biru cerah walau di dahinya berbalut perban berwarna putih menutupi alisnya. Kulitnya tidak seperti anak gadis seumurannya, saat menjabat tangan terasa lebih tebal walau dagunya berbentuk kecil. Mungkin karena sering menekuni dunia balap.
“Lebih baik berhenti ikuti ajang balapan,” kata wanita yang acuh tak acuh kepada klien di depannya itu.
“Berhenti?” sergah Nidya lirih, “tinggal selangkah lagi saya masuk ke kejuaraan nasional, bu. Bagaimana harus berhenti?”
“Ya, saya yakin akan hal itu. Dengan begitu, masalah yang menimpa kepada Nak Adik tidak semakin memburuk.”
Gadis itu menarik kursinya ke belakang. Merasa tidak yakin akan keputusannya.
“Tapi…”
Ucapannya itu begitu mengharukan bagi Ibad. Sebelum menjadi Debt Collector, ia sempat memiliki cita-cita yang sampai hari ini tidak kesampaian karena terhalangi oleh jalan takdir. Ibad terkenang kembali saat ia masih duduk di bangku sekolah yang mengatakan bahwa dirinya akan menjadi seorang Dokter suatu kelak. Sebuah cita-cita yang mulia. Tapi, semakin bertambahnya usia rupanya jalan lain menuntunnya.
Hal itu rupanya dirasakan pula dengan kejadian yang sedang menimpa anak gadis di sebelahnya ini. Gadis yang kukuh ikut balapan dan meraih cita-citanya mengikuti ajang kejuaraan nasional.
Keputusan buruk yang disarankan rupanya menghantui gadis itu. Nidya mengungkapkan alasannya bahwa dirinya sangat kecewa dengan kondisinya sekarang ini pasca kecelakaan. Nidya turut pula mengalami banyak tekanan dari lingkungannya. Karena tidak tahu harus berbuat apa-apa akhirnya ia memutuskan untuk menemui seorang konselor dan sampailah ia sekarang berhadapan dengan wanita cukup umur itu.
Namun, selang beberapa menit setelah wanita yang ada di depannya itu menulis surat rujukan, kami berdua terpaku melihat tubuh mungil gadis itu terkulai tak berdaya menubruk lantai. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Riak oksigen semakin mengecil dan padam. Kami segera menelpon ambulan.
[*]
DELANA
“SELAMAT PAGI, Pak. Apakah Anda sudah siap pergi?” sambut sopirnya.
“Ya, sangat siap!”
Otis tersenyum senang melihat sopirnya kembali bekerja setelah lama meminta cuti. Ia bertemu dengan pria itu ketika usianya masih 20-an. Saat itu, jarak antara dirinya dan pria itu sekitar 20 tahunan. Delana, nama sopirnya, sempat berkuliah di Perguruan Tinggi dengan program studi Sastra Indonesia, namun tidak diselesaikan karena masalah keuangan. Sebab itulah, ia datang ke Otis dan meminta sebuah pekerjaan. Sebab ia mengaku jauh dari sanak-keluarganya, akhirnya Otis putuskan untuk menjadikan anak itu sebagai sopirnya. Otis punya alasan lain mengapa ia mau memperkerjakan anak usia 20 itu. Sebab, anak itu selalu percaya diri. Itu yang dibutuhkan anak-anak muda, pikirnya.
Kenal hampir 20 tahun, ia dan sesosok berbadan kecil seperti dirinya itu bercakap seperti halnya kawan seumuran. Ketika di dalam mobil, sambil memegang stir mobil pria itu terus-terusan bercerita mengenai ayah angkatnya. Betapa geramnya ia. Kumis tebalnya naik-turun mengikuti irama suara beratnya.
“Saya tak tahan lagi, Pak!” kata sopirnya putus asa. “Ayah tiri saya itu orangnya gila, pemabuk, kasar!”
“Tapi apakah dengan cara ini semua masalah bisa terselesaikan?” tanya Otis.
“Ya, saya putuskan untuk keluar dari rumahnya.” Sementara bibir pucat sopirnya mengatakan itu, tiba-tiba Otis menerima telepon masuk. Tulisan besar memenuhi layar telepon genggamnya. Bertuliskan, ‘Panggilan masuk dari Nyonya Shana’. Istrinya menelepon.
Perbincangan di dalam mobil dialihkan dengan membicarakan kondisi seorang wanita yang tengah menjalani program kesehatan. Ketika baru kenal Sahna, ia adalah gadis dengan kepala lonjong, dan memiliki bibir tipis. Keaktifan semasa kuliah membuat Otis bertemu dengannya. Otis sempat mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Wanita itu juga pernah menolak Otis beberapa kali. Namun, karena Otis tetap kukuh mengejarnya, sampai akhirnya entah mukjizat apa yang diberikan kepada Otis, Sahna mau menikah dengannya. Walau sudah lewat lebih 25 tahun kejadian hilangnya anak mereka, istrinya masih harus berjuang melawan penyakit yang memengaruhi keadaan kesehatannya yang telah membuat tubuh wanita itu kurus kering. Meski begitu, tidak menutup mata Otis untuk tetap mencintainya.
Sampai di rumah sakit, Delana segera membukakan pintu masuk untuk Otis. Karena hubungan yang begitu dekat, Otis meminta Delana untuk ikut bersamanya menemui Shana yang saat ini masih dirawat.
Di pintu masuk, tiba-tiba Otis tersenyum sendiri. Ia ingat saat pertama kali melihat wanita itu, yang membuatnya jatuh jatuh cinta. Sahna sempat mengatakan keberatan di awal pertemuannya dengan Delana, bahwa tak ada yang menarik pada diri anak remaja itu. Seorang anak laki-laki berumur 20 tahun. Kurus. Kotor. Tidak mengenakan alas kaki. Siapa yang menyangka saat ini sudah 20 tahun mereka hidup berdampingan. Sebagai sopir pribadinya yang siap 24 jam.
Ketika sampai di ruang kamarnya, Otis merasa pertemuan itu begitu mengharukan. Ia memeluk istrinya erat dan memandangnya lama. Mereka terkenang kembali saat mereka masih kuliah dan tinggal bersama di sebuah indekos murah.
Otis dan Delana duduk di kursi yang diatur membentuk sebuah lingkaran, mirip dengan ruang rapat, mengitari tempat tidur istrinya. Semua duduk dengan tenang dan Otis mengeluarkan sesuatu di dompetnya. Tak seorang pun yang tampak mengira pada benda yang dibawanya di ruangan itu.
Otis mencoba menerangkan kepada istrinya yang akan dikejutkan dengan fakta yang akan dikeluarkan olehnya. Sahna memahami meski tidak membenarkan apa yang telah dialami karena kejadian yang telah begitu lama, yaitu anak satu-satunya yang menghilang ketika masih berusia belasan.
“Jadi…Delana itu… Josua? Anak sulung kita?” ucap istrinya memotong penjelasan suaminya.
“Anak yang dibawa kabur waktu kita berpisah,” sahut Otis lirih.
Sahna sengaja hamil di luar nikah untuk menghindari perjodohan ibunya yang pemarah. Pihak kantor tidak mau tahu, bahkan menuduh ia berselingkuh dengan bosnya sendiri, yaitu Otis, yang telah memiliki istri.
[*]
STASIUN
KAU menatap layar handphone. Di situ tertera pukul 21.14. Dan, kereta tujuanmu adalah pukul 21.30. Kau taruh lagi handphone itu di dalam saku celanamu, dan kau kembali menatap kosong lorong di seberang peron.
Kau merasakan sesuatu yang berbeda di dalam tubuhmu itu. Kau menggigil. Angin bertiup meninggalkan jejak di wajahmu. Dingin malam membuatmu terjaga, walau membuat mata terbuka saja rasanya berat, tapi semua itu kau pertahanankan demi tetap terjaga.
Malam ini adalah malam pertama dirimu sebagai seorang pekerja yang baru pulang dari bekerja. Sebuah pekerjaan yang seharusnya menjadi kebanggan tersendiri bagi orang-orang pengangguran.
Entah, mengapa kau merasa kosong saja. Bahkan kau baru sadar sudah kembali duduk sendiri di bangku besi di stasiun.
Kanan-kiri kau mendengar riuh orang lalu-lalang. Suara celotehan wanita dengan dibalas suara lelaki. Kau masih menatap kosong ke seberang peron tempat kau duduk. Menatap wajah-wajah yang nampak kabur, dan berpikir bahwa mereka membalas menatapmu.
Suara kendaraan bermotor sayup-sayup menyela pikiranmu. “Ia datang, kemudian perlahan menghilang,” kau berpikir ada rasa trauma terhadap hal itu.
Kau kembali mengambil handphone di dalam saku celana, membuka kunci, dan memijit sesuatu di sana.
Jari-jarimu bergerak seperti punya kehendaknya. Matamu mengikuti arahannya. Namun, pikiranmu tetap berada di tempat lain.
Sesuatu mengingatkamu terhadap sesosok wanita yang sempat hadir mengisi kekosongan jiwamu. Ternyata semua kebohongan terhadap kesibukanmu hanya menjadi penjeda antara kau dan dia.
Kau berpikir, wanita itu punya cara jitu dan cara tersendiri untuk hadir, mengingatkan, dan membangunkan dari tidur panjang.
Seketika matamu lelah melihat layar handphone dan dengan sekejap kau matikan lagi. Kau masukan kembali ke saku celana.
Kau teringat lagi wajahnya, senyumnya, suaranya, aroma tubuhnya. Kau mengingat lagi masa-masa bersamanya. Kau lebih suka mengenangnya dan tenggelam lama di dalamnya.
Tiba-tiba duduk seorang wanita di sampingmu. Tanpa perintah, kau melirik tempat ia duduk. Ia menebar senyum kepadamu, dan mengucap salam hangat.
Kau membalas salam itu. Dan, turut tersenyum tanpa disadari.
Matanya tak sanggup menatap matamu. Kemudian, wanita itu alihkan pandangan kepada di depannya. Kau mengikuti.
Kalian berada satu bangku yang sama, menatap ke arah yang sama. Namun, kau berharap dia juga mempunyai pikiran yang sama.
Kepalamu mulai sibuk mencari kalimat yang tepat untuk memulai percakapan lagi. Tanganmu meremas-remas bahan celana, dan handphonemu terasa hangat di saku.
Sudah hampir sepuluh menit, kau duduk bersebelahan dengan wanita itu tanpa percakapan. Tanganmu sudah tak meremas-remas bahan celana, malah kau meneggakkan tubuh. Kakimu di bawah salah satunya bergerak-gerak.
Pukul 21.30 keretamu sampai. Dan kau belum juga mengucapkan sepatah dua kata kepada wanita yang duduk di sebelahmu.
“Tidak usah dipikirkan. Biar semuanya berjalan sesuai kehendaknya masing-masing,” ucap wanita itu tiba-tiba.
Kakimu berhenti. Matamu terpaku pada ucapan suara wanita. Detak jantungmu mulai mereda, tubuhmu mulai tenang. Kau mencari dari mana suara itu berasal. Ya, dari sosok wanita di sebelahmu yang tanpa sepengetahuanmu memerhatikanmu.
“Pukul 21.30 adalah jadwal keretamu,” ia menambahi.
Kau mengiakan. Sontak ada senyum tipis di wajahnya. Kau mencium aroma segar dari balik sosoknya yang sedang meringkuk dibalut jas bahan tebal panjang sampai lutut itu.
Kau kembali mengalihkan pandangan dan perpikir mengapa sulit sekali menyapa.
Pukul 21.30 tepat keretamu sampai. Dan, kamu kembali membuka mata, menatap kenyataan yang kini ada di hadapanmu.
Kau memperhatikan bangku sebelahmu tetap kosong. Dan lalu-lalang orang-orang masih terdengar riuh. Suara kendaraan motor masih membuatmu menggigil.
Kini kau menyadari bahwa wanita itu sebetulnya hanya bayanganmu saja. Kau bangkit dari tempat dudukmu. Kau berjalan ke depan, memasuki gerbong yang hanya beberapa menit sudah dijejali banyak manusia.
Ya, kau masih terjaga dan sendiri.
[*]
JALAN GROOVE
ANDRE melihat kawannya bersembunyi di balik pagar. Karena penasaran, akhirnya ia mendekati kawannya yang tengah bersembunyi itu.
“Hai, kawan. Kenapa kau sembunyi-sembunyi begini, ada apa?” tanya Andre.
Pertama tak diindahkan pertanyaan itu, kawannya malah menyuruh Andre supaya tidak terlihat mencolok dan memberitahu keberadaannya.
“Ssstttt…” kata Jeffrey, nama kawannya, sambil satu jari menutupi mulutnya. “Kalau kau tidak ikut bersembunyi, keberadaanku bisa ketahuan. Celakalah aku!”
Karena merasa tidak enak hati, akhirnya Andre menuruti permintaan kawannya. Tak lama, muncul dua sosok polisi berpakaian lengkap dengan membawa seekor anjing yang memimpin jalan. Sikap mereka seolah sedang mencari sesuatu, yang jelas mereka mencari kawan Andre.
“Gawat!” kata Jeffrey sedikit bergetar. “Kita harus mencari jalan lain. Di sini kurang aman.” Mau tidak mau, Andre menuruti lagi permintaan kawannya.
“Baiklah, kawan. Kau memimpin jalan,” katanya kemudian.
Jeffrey memimpin jalan. Dengan gerak gesitnya terlihat bahwa ia memang sudah biasa melakukan ini. Andre mengikutinya sambil mengawasi mereka dari belakang. Namun, entah mengapa kedua polisi itu akhirnya tahu keberadaan mereka, dan lolongan anjing disertai genderang sepatu berat terdengar jelas di belakang Andre.
“Lewat sini!” Jeffrey menaiki pagar kawat yang memisahkan mereka dari pemukiman warga ke hamparan rumput luas.
Melihat Jeffrey lincah menaiki pagar, Andre mencoba menggapai pagar itu. Ia berhasil naik dengan dibantu kawannya dari atas, tapi dari belakang suara lolongan anjing itu makin terdengar. Karena panik akhirnya Andre kesusahan mempertahankan pegangannya, kemudian Andre mencoba cara lain.
Ia memperhatikan sekitarnya. Ada sebuah pintu di bagian sisi lain. Ia mencoba pintu itu. Pintu itu dapat terbuka! Andre secepat kilat melesat menghilang dari jangkauan si anjing yang terdengar sangat meraung lapar itu, tapi di balik pintu itu keadaan ruangan sangat gelap dan Andre kesulitan mencari jalan keluar untuk bergabung dengan kawannya.
Ia terus berusaha mencari jalan keluar dengan mengikuti lorong-lorong yang sunyi, gelap, dan pengap itu. Tidak ada jalan keluar, yang ada hanya barisan pintu yang tertutup rapat dan tidak bisa dibuka. Namun, Andre tetap bersikeras membuka pintu-pintu itu dan sampai tenaganya habis.
Tapi apakah Andre menyerah? Tentu tidak. Entah dikarunai kekuatan apa, dengan kekuatan penuhnya Andre menendang pintu salah satu darinya dan pintu itu dapat terbuka, tapi di ruangan itu dari arah jendela sudah ada satu polisi yang sudah dari tadi mengintai dari jendela dengan menggunakan senter mengamati ruangan dalamnya.
Andre terpaksa berjalan jongkok, bersembunyi di balik-balik kursi dan meja makan yang berbaris rapih itu. Tak disangka polisi itu dapat melihat bahwa ada sesuatu yang bergerak di dalam ruangan itu. Ia memecahkan kaca itu, dan memaksa masuk.
Ketika ketahuan, Andre dengan sekuat tenaga dapat mempertahankan dirinya dari sergapan polisi itu. Dengan kelincahan yang ia punya, ia dapat menjatuhkan benda pemukul polisi itu dan merebut senter darinya, tapi setelah ia dapat berhasil melarikan diri dari kejaran polisi, tiba-tiba polisi yang lain mengejarnya dari arahnya.
Dengan tembakan peringatan, polisi itu berlari sekencang-kencangnya mengejar Andre, yang diketahui membawa alat pemukul dan senter milik temannya.
Apakah Andre dapat melarikan diri dari kejaran polisi itu? Rupanya ketika ia sudah merasa aman dari kejaran polisi itu, ia bertemu kembali dengan seekor anjing yang sedari tadi mengincar tubuhnya yang masih dirasainya cukup segar itu. Dengan cepat anjing itu berlari melesat dan menggigit kaki kiri Andre ketika ia hendak menaiki pagar pembatas pemukiman yang lain.
Ah, nasib sial menimpa Andre, dan polisi di belakangnya bersama temannya ikut mengepung Andre yang tak bisa berlari kemana-mana. Sementara kedua polisi itu mencoba melepaskan gigitan di kakinya, Andre menahan rasa skit yang sangat amat di kakinya. Rasanya untuk lari saja ia sudah tidak sanggup.
Benaknya berkata, dimana kawannya itu, kenapa ia tak menyelamatkan dirinya dari polisi-polisi ini? Tak disangka, rupanya berkat sekali-dua kali selama setahun ini ke gereja, Tuhan masih mendengarkan doanya. Kemudian muncul sesosok pria berperawakan sok seram dan bertubuh kecil di balik bayangan gelapnya malam membelakangi terang bulan. Andre senang melihat kawannya kembali, tapi tak disangka kawannya itu mengeluarkan benda yang tak diketahui Andre sebelumnya. Dengan cepat ia menekan pelatuk pistol yang dibawanya, dan peluru dengan melesat mengenai dada kedua polisi itu yang belum bersiap bertahan. Bahkan anjingnya tak luput ditembak mati.
Kemudian kawannya itu berkata, “Jangan kira kami memiliki kulit hitam kau bakal menyangka kami adalah seorang gangster, pengedar narkoba, perusuh, atau sebagainya!”
[*]