Hal yang Saya Pelajari sebagai Mahasiswa Bahasa dan Sastra
Apa yang saya pelajari selama delapan semester ini?
Latar belakang
Di saat pertama-tama untuk memutuskan kuliah, awalnya saya tidak pernah atau terbesit sedikit pun akan mengambil jurusan yang ada hubungan dengan pendidikan, bahasa, bahkan sastra. Sama sekali tidak.
Ketika semasa saya baru atau akan lulus sekolah menengah atas yang terbesit di kepala saya hanyalah: menjadi seniman! Pelukis! Karya Seni! Stylist dan hidup bebas! Singkatnya, saya adalah orang yang memiliki sikap berpikiran praktis.
Apabila saya tidak dapat berprestasi di bidang pendidikan secara formal, maka saya harus menjadi seorang seniman yang memiliki pola pikir luwes, tidak kaku, dan berjiwa bebas.
Untuk itu, saya SANGAT ingin melanjutkan jenjang pendidikan di bidang seni! Jurusan apapun itu, yang terpenting ada sangkut pautnya dengan hal-hal yang berbau seni (seperti menggambar, melukis, serta mengabadikan segala bentuk keindahan).
Permasalahan mulai muncul, ketika keadaan (kenyataan) berbanding terbalik terhadap angan, mimpi, dan cita-cita (yang masih abstrak). Ya. Masalah materiil. Kuliah di bidang kesenian (khususnya, jurusan seni rupa) itu LUAR BIASA MAHAL.
Sehingga akhirnya saya sempat minder, dan tak pernah untuk memusingkan hal itu lagi karena ‘mimpi itu tak semua berbentuk nyata’. Maka, saya selama satu tahun benar-benar tidak melakukan apa-apa. Hanya menghabiskan waktu dengan video games, sosial media, dan menghayal. Ya, menghayal!
Dari kebiasaan saya menghayal itu (sebenarnya kebiasaan ini sudah lahir sejak saya ada di dunia, dan mungkin masih ada sampai saya berjanggut dan berkumis begini) di sisi lain, saya juga senang membuat sebuah karya, seperti tulisan.
Karya tulis saat itu sebut saja prosa. Mulai kisah yang bertemakan fiksi sejarah, maupun fantasi.
Saya mulai konsisten menulis, yang awalnya sekedar hanya ingin menyelesaikan karya tulis itu.
Berakar dari sekuel trilogi film The Lord of The Rings, akhirnya saya mengenal sosok J.R.R. Tolkien, kemudian terpacu untuk membaca karya aslinya yang berbentuk sebuah buku-buku berhalaman tebal. Dari sini, sifat ke-kutubukuan saya mulai tumbuh, walau buku pertamanya yang saya baca adalah The Silmarilion.
Selepas dua tahun setelah lulus dari sekolah menengah atas, akhirnya saya mengambil keputusan secara bulat, bahwa kesenangan menulis itu ada baik dikembangkan lagi dengan memulai dari nol.
Saat bersamaan pula, setelah mimpi menjadi seniman atau pelukis gagal total (karena biaya, dan keadaan fisik), saya memilih penjurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Walaupun awalnya sama sekali tidak tahu apa itu jurusan berlabel ‘Pendidikan’, namun saya optimis saat itu karena termotivasi ‘Bahasa dan Sastra’ di sana.
Ditambah, ‘Indonesia’. Kalau tidak belajar bahasa Indonesia, lalu dengan apa saya nantinya akan menulis, dan berpeluang menjadi penulis?
Pada semester awal, muncul masalah baru. Terbawa suasana kembali terhadap kegagalan menjadi seniman atau pelukis, rupanya label ‘Pendidikan’ yang tercantum dalam penjuruan tersebut merupakan arti dari ‘Keguruan’. Aduh, pikir saya.
Sempat terjerumus pada jurang yang sama, suasana yang sama, dan kegagalan yang sama. Namun, kali ini ibarat sudah ‘tercebur setengah badan’.
Akhirnya, saya menyalahkan diri sendiri, lagi. Hingga, kemudian saya harus berkelahi dengan keputusasaan diri (angan, dan kenyataan memang tidak pernah dapat disatukan).
Hingga sampai di titik untuk menyerah, dan meninggalkan angan karena merasa selalu kalah terhadap kenyataan. Lebih baik drop out dari jurusan yang salah ini, daripada dijalani tapi setengah hati.
Belumlah sampai di situ. Saya berpikir terlalu keras saat itu, dan beranggapan bahwa ‘saya seorang diri di dunia ini’, sehingga keputusan pun terkesan tidak matang, dan kekanak-kanakan.
Kemudian, hadirlah orang-orang yang membawa saya sampai hari ini, yang menjadi alasan saya untuk tetap melanjutkan jenjang penjurusan perguruan tinggi ini. Tinggal satu langkah tersisa sebelum akhirnya mendapat gelar sarjana.
Saya tak pernah berhenti mengucap syukur terhadap apa yang telah terjadi, dan pada akhirnya adalah saya tetap menulis!
Relevankah Belajar Bahasa dan Sastra di Perguruan Tinggi terhadap Impian menjadi Penulis?
Rupanya tidak semudah dengan apa yang terkonsepkan di kepala. Mengambil penjurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra itu kesannya seperti mempunyai cabang yang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
Cabang pertama: ‘mahasiswa ditempuh untuk menjadi guru (fokus utama jurusan ini)’
Cabang kedua: ‘mahasiswa ditempuh untuk memahami ilmu terhadap bahasa’
Kemudian cabang ketiga: ‘mahasiswa ditempuh untuk menguasai bidang media bahasa, seperti sastra.’
Awalnya saya berpikir akan jatuh pada cabang ketiga. Namun, berkat pemikiran Saussure, dan teori Semiotik (istilah bidang Linguistik), saya jatuh hati kepada cabang yang kedua, yaitu: ‘memahami ilmu terhadap bahasa.’
Menurut saya, menarik! Kita belajar menggunakan bahasa namun bahasa itu sendiri yang pada akhirnya dikaji. Seperti berpikir tentang ‘berpikir’.
Hal yang Saya Pelajari Selama 8 Semester Ini
1. Linguistik
Mengapa penting dan sangat krusialnya seseorang yang berkecimpung di bidang kebahasaan, seperti penulis, pembaca, atau bahkan penyair setidaknya harus mengenal atau memahami konsep dari bahasa itu sendiri?
Sebab, di dalam bidang kebahasaan dan sastra, paling banyak membahas ilmu yang mengkaji bahasa sebagai objek kajiannya.
Saussure adalah sosok gentlemen yang telah memaparkan bentuk konret-konret tentang bahasa. Begitu detail dan praktikal.
2. Analisis Bahasa
Pertengahan masa studi di perguruan tinggi adalah waktu yang cukup agar mahasiswa dapat berpikiran untuk mengerjakan proyek.
Erat kaitannya dengan ‘Kebakuan Bahasa’ yang masih bersandingan dengan ilmu Linguistik.
Namun, mahasiswa kerap menemukan masalah terhadap konsep-konsep yang saling timpang-tindih. Antara konsep kebahasaan yang telah akrab di dalam negeri dengan konsep-konsep baru yang lebih kebarat-baratan di ilmu Linguistik Umum.
Kadang, satu konsep yang sama dapat dua-tiga istilah yang digunakan. Padahal intinya sama.
Baik kebakuan dalam bahasa, dapat mendukung performa penulis dalam menyelesaikan karya sastranya. Sehingga minim terjadi kesalahan sangat umum, seperti salah tik, ejaan, dan penggunaan tanda baca.
3. Penelitian
Penelitian adalah proses akhir seorang pelajar dalam perjalanannya menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Penulis sendiri terkadang kurang peka terhadap fenomena yang terjadi di sekitar lingkungan.
Penelitian dilakukan untuk mengamati, menganalisis, dan membuat laporan serta cara mengatasi masalah yang terjadi di tengah masyarakat.
Artinya, jangan lupa dengan semboyan tridharma perguruan tinggi: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, terakhir pengabdian kepada masyarakat.
4. Pendidikan
Berkecimpung di penjuruan pendidikan tidak menutup kemungkinan mahasiswa juga dituntut mengenal sistem pendidikan.
Bukan hanya mencetak pengajar-pengajar yang kompeten, baik secara kepribadian maupun intelektualitas. Namun, turut pula mempunyai kesadaran atas pendidikan itu sendiri.
Mengapa pendidikan itu penting?***