Berpikir

Masa depan, media sosial, dan cita-cita.

Donny Setiawan
2 min readSep 16, 2023
Foto oleh Deleece Cook via Unsplash

Apakah masa depan begitu menakutkan?

Apa yang kamu takutkan?

Takut tertinggal dengan yang lain.

Takut hidup miskin.

Takut hidup sebagai pengangguran.

Takut merasakan rasa sakit, lagi.

Begitu banyak ketakutan yang menghampiri di usia 24 ini.

Pertanyaan mengapa? Apakah ini adalah semacam efek, sebut saja GAP — lulus perguruan tinggi, mendapat gelar, dan DI MANA AKAN BERLANJUT.

Menjadi seorang spesialis bidang? Menjadi pekerja sekedar mencari penghidupan? Melanjutkan ke dunia pendidikan? Mengejar mimpi yang namun jelas harus terlihat realistis.

Mengapa semuanya terkesan dikejar-kejar waktu? Apakah ini masa-masa di mana harus meninggalkan kenyamanan lalu? Dan beralih ke sesuatu yang masih belum pasti?

Ah, hidup itu bukan kompetisi.

Ah, kalaupun kamu belum menemukan tempat yang tepat, jadikan itu menjadi pengalaman.

Ah, kamu itu, kan, masih muda.

Bahkan, semakin banyak kita mencari jawaban tertentu mengenai hidup, malah semakin menambah beban untuk kita.

Semakin sering membuka media sosial, tanpa sadar, sering memakan konten-konten yang isinya berupa banyak jawaban dari segala persoalan.

Namun, mengapa rasanya itu malah membuka media sosial dan mencari atau bahkan melarikan dari masalah dunia nyata akan semakin menambah masalah untuk kita?

Ya, saya merasakan itu. Ataukah, jawaban harus berpuasa menggunakan media sosial lagi?

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk itu.

Pertama, media sosial sudah saya letakkan sebagai alat sebagai sarana penyaluran bidang kepenulisan. Seharusnya, sudah bukan lagi dipandang sebagai alat yang tanpa tujuan, bukan?

Kedua, di satu sisi, di tengah konten-konten yang membuat semakin lelah, saya tidak mau putus, baik secara batin ataupun visual, dengan orang-orang yang sudah saya kenal. Bukan hanya sudah saya jadikan alat untuk penyaluran, media sosial sudah saya batasi sekedar kenalan saja.

Ketiga, media sosial sebagai sarana informasi mengenai rekruiter tenaga kerja, baik bidang linear maupun bukan. Tanpa media sosial tandanya harus lebih bekerja keras lagi mencari informasi-informasi terkait.

Sekalipun jika memutuskan untuk berhenti menggunakan media sosial, lagi, harus ada hal yang menjadi penggantinya.

Entah belum genap setahun atau sudah, menulis sebagai pengganti media sosial sudah pernah saya lakukan dan efeknya sangat positif.

Menjadi lebih produktif, melahirkan tulisan-tulisan baru, menyegarkan ide, lebih memerhatikan sekitar, dan lebih banyak bertanya pada diri sendiri itulah efek positifnya.

Namun, tidak lepas pula dari efek negatifnya, seperti suasana hati lebih sensitif, muncul pikiran-pikiran rasa bimbang, merasa kesepian, dan hal lainnya.

Saya setuju dengan pernyataan bahwa kapasitas mental seseorang tidak bisa diukur sama dengan orang lain.

Jadi, apakah masa depan begitu menakutkan?***

--

--