Bahasa dan Imajinasi
Manusia itu Berpikir
Secara harfiah Imajinasi tidak sama seperti ilusi dan fantasi atau khayalan.
Imajinasi adalah gambaran suatu hal yang mendorong dari ‘yang tadinya tidak ada’ menjadi ‘ada’.
Sementara, ilusi adalah sebagai usaha untuk meyakini dengan melahirkan kesan yang keliru (keluar dari sifat nyata).
Fantasi atau khayalan adalah daya manusia untuk menggambarkan suatu yang tidak nyata.
Sebab itu imajinasi diterapkan pada ‘proses mental’ kemudian ke ‘proses visual jasmaniah’
Manusia terus mencari pencerahan terhadap suatu hal yang berada di luar pengetahuannya.
Dengan berpikir, manusia melahirkan berbagai pengetahuan sehingga mengisi kekosongan yang ada di muka bumi.
Dalam prosesnya, manusia menggunakan nalar untuk mengintrepetasikan kenyataan dengan wujud. Wujud haruslah tepat sesuai dengan kenyataan, atau dengan kata lain, yang disepakati ‘benar’.
Evolusi Pikiran
Sepanjang pengetahuannya, manusia pada akhirnya berpikir dengan cara yang lebih baik.
Berpikir secara baik artinya dapat berpikir secara sistemik, teratur, dan tepat sasaran.
Semakin dewasa, manusia dapat berpikir melalui, paling mendasar setidaknya, dengan dua cara:
Pertama, berpikir secara baik itu dapat dikatakan dengan berpikir secara rasional.
Berpikir secara rasional yaitu dengan mengandung sebuah pikiran, melalui penalaran, pikiran tidak keluar dari sifat alamiah manusia secara intuisi sehingga dapat dianggap benar (sesuai dengan kenyataan).
Kedua, kalau yang pertama dimaksudkan melalui berpikir secara keyakinan. Kedua justru mengajak manusia, dalam proses penalarannya terhadap mengintrepetasikan kenyataan, menggunakan pengalaman inderawi.
Dalam hal ini, sesuatu dianggap benar (sesuai dengan kenyataan) jika sesuatu itu dapat dirasakan dan diciptakan melalui gambaran pengalaman.
Immanuel Kant, dalam komentarnya, mengatakan bahwa kedua hal di atas sama benarnya.
Menurutnya, pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang didasari oleh proses penalaran secara logis dan sesuai dengan pengalaman inderawi.
Pemikiran tanpa isi adalah kosong. Intuisi tanpa konsep adalah buta.
Peran Bahasa
Jika sifat dari realitas adalah jasad yang hanya dirasakan melalui inderawi manusia maka bahasa berperan penting sebagai medior atau media tempat penyaluran antara pengalaman inderawi dengan realitas menuju bentuk wujud.
Ludwig Wittgenstein I berkomentar bahwa bahasa adalah gambar dunia.
Dalam artian ini, bahasa juga berperan sangat penting dalam menggambar dunia atau bentuk realitas yang kita yakini melalui proses pengalaman inderawi atau yang kita konsepkan secara rasional.
Dengan mengikuti komentar dari Wittgenstein, secara langsung, bahasa bukan hanya saja sebagai medior atau media dalam kegunaannya di tengah hidup manusia, melainkan sebagai ‘pusat dari keberlangsungan kehidupan manusia’.
Bahasa dapat menerangkan sebuah kebenaran. Sebaliknya, tanpa bahasa tidak akan ada kebenaran (yang terungkap).
Bahasa adalah realitas yang terbahasakan. Dengan begitu, bahasa merupakan wujud dari realitas.
Peleburan Bahasa
Dalam perannya sebagai ‘pusat pengetahuan’, bahasa semakin dewasa juga semakin berkembang dibalik praktiknya.
Ialah Metafor. Sebuah kekuatan baru di dalam bahasa yang menidurkan manusia.
Ludwig Wittgenstein II dalam komentarnya — mengikuti teorinya language games — sebuah kalimat dalam perwujudannya menggunakan percakapan dapat melahirkan bukan saja satu makna melainkan ‘meleburkan’ kemungkinan-kemungkinan lain atau alternatif lain terhadap bahasa yang terbahasakan itu.
Realitas sama dengan kebenaran diwujudkan menggunakan bahasa, kemudian bahasa tersebut meleburkan bukan hanya satu konsep pikiran, melainkan lain daripada satu kemungkinan.
Ferdinand de Sassure seirama dengan komentar Wittgenstein, ia menyatakan bahwa bahasa adalah rumah penyimpanan kata dan frasa, dalam praktiknya.
Sementara, jika sebuah bahasa bukan berbentuk kata dan frasa lagi, dalam hal ini sudah berkembang menjadi satu kesatuan utuh yang melahirkan makna, yaitu kalimat. Maka dalam hal ini sebuah kalimat adalah seburapa bentuk hasil dari aktivitas yang bersifat bebas dan kreatif.
Metafor erat kaitannya dengan penggunaan bahasa yang bersifat bebas dan kreatif. Hal inilah sebuah kekuatan baru di dalam bahasa yang menidurkan manusia, seperti puisi, prosa, dan karya sastra lainnya.
Metafor, sebuah sifat kebahasaan yang rupanya bukan hanya menjadi kekuatan besar bagi bahasa melainkan bisa menjadi alat mematikan untuk bahasa itu sendiri.
Problem Bahasa
Bahasa tidak sepenuhnya menyingkap suatu realitas maupun kebenaran. Sebaliknya, ia justru melahirkan banyak ‘kemungkinan’ atau ‘alternatif lain’ dalam penyampaiannya.
Hal ini dapat diungkap bahwa bahasa memiliki setidaknya kekurangan:
a. Penciutan Pengalaman
Realitas itu merupakan pengalaman manusia paling luas dan karena sangat luasnya sehingga bahasa dipandang tidak mampu menjelaskannya secara utuh tanpa bantuan penyesuaian alamiah manusia.
b. Generalisasi Konsep
Sudah sifatnya bahasa melahirkan konsep-konsep. Namun, di sini, artinya melalui bahasa juga mencari kesamaan-kesamaan, baik segi umum, prinsip asosiasi, maupun analogi yang memperkaya bahasa.
Sebuah realitas dapat melahirkan banyak istilah-istilah baru. Namun, di satu sisi istilah-istilah merujuk pada realitas yang (terlihat) makin sempit.
Sebuah bahasa melalui istilah dapat meyakini realitas yang sempit, bukan malah sebaliknya.
Konklusi
Untuk mengatasi beragam pemikiran dan paradigma manusia dibutuhkan sebuah daya melalui unsur, baik secara kognitif maupun kreatif. Sehingga dalam prosesnya dapat terangkum sebuah satu-kesatuan informasi sebagai wujud utuh yang tanpa melewatkan atau didasari oleh imajinasi.***
Djojosuroto, Kinayati. (2006). Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.